Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekerasan di Suriah

Kompas.com - 03/03/2012, 02:54 WIB

Oleh Broto Wardoyo

Gelombang Musim Semi Arab tampaknya belum benar-benar berhenti. Tuntutan perubahan masih menggelora di Suriah, salah satu negara kunci di kawasan Timur Tengah.

Tuntutan perubahan yang disampaikan kelompok oposisi ditanggapi dengan penggunaan kekerasan oleh pemerintah. Kekerasan pun merebak di beberapa kota. Sejauh ini sudah lebih dari 7.500 orang tewas. Hanya saja, kekerasan dan jatuhnya korban jiwa tak serta-merta mendorong intervensi internasional atas nama tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to protect). Hal ini berbeda dengan di Libya beberapa waktu lalu. Tentu bukan karena jumlah korban jiwa dianggap belum ”keterlaluan” jika hingga kini intervensi internasional belum juga dilakukan.

Lebih pelik

Alasan utama terletak pada riil politik yang melekat dalam konteks Suriah yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan Libya. Ada empat dorongan mengapa kasus Suriah menjadi lebih ”pelik” untuk diselesaikan. Pertama, keberadaan negara besar di belakang Suriah. Suriah merupakan salah satu sekutu utama Rusia, bahkan sejak periode awal Perang Dingin (masih dengan nama Uni Soviet). Kedekatan tampak, misalnya, jika kita mencermati teknologi militer yang dimiliki Suriah yang sangat kental karakter Uni Soviet/Rusia-nya.

Dukungan politik Rusia ke Suriah juga tampak di PBB. Terakhir, awal Februari, Rusia menggunakan hak veto terhadap draf resolusi bernomor S/2012/77 yang diusulkan beberapa negara Arab, Jerman, Inggris, Turki, dan AS. Rusia menilai usulan resolusi tersebut tak akan membawa hasil yang positif untuk menyelesaikan kekerasan dan memilih pendekatan diplomasi langsung dengan rezim Bashar al-Assad.

Kedua, keberadaan kekuatan regional di belakang Suriah. Selain kedekatan dengan Rusia, Suriah juga membangun aliansi dengan Iran. Suriah dan Iran merupakan duet maut dalam menentang eksistensi Israel. Kedekatan kedua negara salah satunya terlihat dalam pendirian dan kinerja Hisbulah, kelompok Syiah anti-Israel yang berbasis di Lebanon selatan. Suriah jadi negara penghubung Hisbulah dan Iran, termasuk menjadi jalur utama transmisi senjata. Tak mengherankan jika kemudian ada yang berpendapat kekacauan di Suriah saat ini tidak bisa dilepaskan dari upaya Barat menekan Iran.

Ketiga, kekuatan jejaring kelompok bersenjata yang dimiliki rezim penguasa Suriah. Suriah dikenal sebagai frontier states yang paling keras menentang Israel. Suriah bukan saja secara langsung berkonfrontasi dengan Israel terkait kepemilikan Dataran Tinggi Golan dan kawasan Sheeba, tetapi juga berperan penting melanggengkan konflik antara Israel dan Lebanon.

Selain itu, Suriah juga menjadi negara di belakang Hisbulah dan Hamas, dua kekuatan bersenjata anti-Israel yang hingga saat ini gagal ditundukkan oleh Israel. Jejaring kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Suriah ini membuat intervensi terhadap kondisi politik domestik di Suriah akan jadi semakin rumit.

Terakhir, karakter negara intelijen. Selama periode kepemimpinan klan Assad, Suriah dikenal sebagai negara otoriter di mana peran intelijen dalam mengamankan rezim sangat dominan. Peran para mukhabarat, agen-agen rahasia, dalam mengontrol beragam aspek kehidupan penduduk sedemikian besar. Hal ini berimbas pada lemahnya kesatuan visi kelompok oposisi. Kelompok oposisi, meski disatukan oleh kepentingan yang sama, tak dibangun oleh jejaring yang kuat dan mapan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com