SUKABUMI, KOMPAS -
”Mereka tak tahu boleh membeli berapa banyak solar saat ini karena petunjuk pelaksanaan perpres itu belum ada. Para pengusaha tuna sedang menghitung kerugian karena tidak bisa melaut,” kata Tendy Sudama, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Sukabumi, Selasa (21/2).
Menurut Tendy, pembatasan BBM bersubsidi berlaku untuk kapal berbobot mati 30 ton (GT) atau lebih. Di kawasan Palabuhanratu, kapal berbobot seperti itu umumnya mencari ikan tuna, yang sebagian besar untuk pasar luar negeri.
Dia mengungkapkan, modal dalam sekali melaut bagi satu kapal berukuran 30 GT sebelum ada peraturan baru mencapai
Solar yang dipakai untuk sekali melaut, berdasarkan peraturan lama, Perpres No 9/2006, adalah maksimal 25 ton. Adapun di peraturan baru tidak disebutkan batas maksimal pembelian BBM bersubsidi. Namun, untuk membeli BBM bersubsidi, pengusaha harus mendapat rekomendasi dari pemerintah daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan.
”Sebelum ada rekomendasi, tentu dinas terkait harus verifikasi kapal terlebih dahulu, apakah terdaftar di pelabuhan setempat, dan juga berapa banyak solar yang dibutuhkan. Nah, petunjuk teknis untuk itu belum ada sehingga sulit mendapat rekomendasi,” ujar Tendy.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi Dedah Herlina mengakui, peraturan baru tersebut belum disertai petunjuk pelaksanaannya. ”Kami kebingungan juga bagaimana merekomendasi kapal yang akan membeli BBM bersubsidi,” kata Dedah.
Menurut dia, pemda memerlukan ketentuan kuota maksimal BBM bersubsidi yang boleh dibeli kapal besar. Jika tak ada batasan maksimal, dia mengkhawatirkan, BBM bersubsidi dijual lagi dengan harga industri oleh pembeli tersebut. ”Saat ini kami masih menunggu petunjuk teknis dari pusat sebelum menerapkan aturan baru tersebut,” ujarnya.
Ujang SB, pengurus kapal tuna di Palabuhanratu, menilai, pembatasan BBM mengurangi daya jelajah kapal. ”Untuk itu, perlu dikucurkan pula kredit pembuatan rumpon kepada kelompok nelayan,”