JAKARTA, KOMPAS -
Alih-alih melanjutkan ”siklus jahat” (
Hal tersebut disampaikan Marty, Kamis (2/2), saat berkunjung ke kantor redaksi
Kedatangan mereka diterima Pemimpin Redaksi Rikard Bagun, Wakil Pemred Trias Kuncahyono, Redaktur Pelaksana Budiman Tanuredjo, dan Kepala Desk Internasional Jimmy S Harianto.
”Ada yang menyebut Myanmar adalah beban bagi ASEAN dan menjadikannya frustrasi. Saya bilang tidak begitu. Diplomasi itu harus tidak ada kaitannya dengan emosi. Semua adalah proses dan kita memilih mengubahnya dari
Marty menyoroti sikap negara Barat yang selama ini terkesan tidak sabar dan hanya menggunakan pendekatan berbentuk tekanan terhadap Myanmar.
Padahal, terbukti masih ada cara lain yang lebih efektif untuk mendekati negeri itu sekaligus membujuknya agar mau berkomitmen mengubah diri.
Ditambah lagi dengan kesamaan kondisi dan latar belakang di masa lalu serta pengalamannya yang jauh lebih maju, Indonesia, menurut Marty, telah dijadikan semacam ”studi kasus” oleh Myanmar.
”Namun dengan pendekatan yang kita lakukan, mereka tidak merasa digurui karena kita coba memaparkan pengalaman dan pelajaran yang pernah kita alami dan dapatkan sebelumnya. Prosesnya panjang, namun memang akselerasinya terjadi setahun terakhir ini,” ujar Marty.
Marty menambahkan, dirinya menyambut baik perkembangan yang terjadi di mana Pemerintah Myanmar dan tokoh demokrasi sekaligus penerima Hadiah Nobel Perdamaian asal Myanmar, Aung San Suu Kyi, sudah bisa saling bekerja sama.
Hal itu menunjukkan keberadaan Suu Kyi sudah dianggap sebagai bagian dari solusi yang harus ditempuh Myanmar. Diakui, keberadaan Suu Kyi memang berpengaruh besar lantaran pernyataan dan sikapnya kerap dijadikan parameter oleh negara-negara maju untuk bersikap terhadap negeri itu.