Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Manisnya Katy Perry, PAHITNYA ELTON JOHN

Kompas.com - 29/01/2012, 03:42 WIB

Budi Suwarna

Konser Katy Perry menyedot rezeki, sedangkan Elton John batal naik panggung. Itulah manis-pahit bisnis pertunjukan musik. Namun, promotor dan penikmat musik sama-sama terus bergairah.

amanya Adam Ariaji. Usianya baru 27 tahun. Hingga tahun 2010, dia masih mengelola bisnis perdagangan milik keluarga. Namun, ketika industri konser bagai kembang api yang menyala terang, Adam tergiur untuk masuk. Maklum, dia juga pencinta musik yang rajin beredar dari konser ke konser.

Bersama beberapa temannya, salah satunya M Ryan Novianto (24) yang juga pencandu konser, Adam mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang penyelenggaraan konser. Proyek pertamanya memanggungkan band rock asal Amerika Serikat, Secondhand Serenade, di Bandung dan Surabaya, awal Februari 2010. Konser pertama itu sukses dan memberi keuntungan.

”Modal yang saya tanam Rp 1 miliar untuk mendirikan StarD langsung kembali dalam satu bulan. Ini bisnis yang perputaran uangnya cepat,” kata Adam.

Cerita Mega Irawan (37) senada. Setahun terakhir, Mega dan teman-temannya menjadi penyelenggara pertandingan futsal dan pertemuan perusahaan dengan bendera Eits! Productions. Bisnis konser yang meriah membetot perhatiannya. Dia pun terjun ke dalamnya. Proyek pertamanya mengelola konser yang melibatkan Agnes Monica, Desember 2011.

Semua persiapan mereka lakukan di sebuah rumah kontrakan yang dijadikan sebagai kantor di Jati Padang, Jakarta Selatan. ”Kami baru mulai. Modal pun tidak banyak. Tapi, kami punya teman-teman yang siap jadi investor,” ujar Mega.

Berbeda dengan Achmad Hussein. Anak muda ini sebelumnya telah malang melintang di dunia hiburan selama 10 tahun. Namun, habitatnya sebatas kelab malam. Ketika bisnis konser moncer, dia memutuskan terjun ke bisnis ini dengan bendera FM Live. Tahun 2010, dia memanggungkan Ian Brown di Jakarta dan Bali. Tahun berikutnya, dia membawa rocker gaek Alice Cooper ke Jakarta.

”Secara finansial, kedua konser itu rugi. Tapi, saya tidak kapok, saya belajar dari situ,” ujar Achmad. Tahun 2012, FM Live bersama Ismaya Live dan Sound Rhythm sukses memanggungkan Katy Perry yang ditonton 7.000 penonton.

Mereka adalah generasi baru promotor konser yang muncul ketika musim semi bisnis konser tiba di Indonesia tiga tahun lalu. Selain itu, ada Big Daddy Live Concert, Blackrock Entertainment, Berlian Entertainment, Marygops Studio, dan lain-lain.

Mereka menjadi pesaing baru bagi promotor lain yang lebih dulu malang melintang di dunia konser Indonesia, seperti Java Musikindo, Java Jazz Productions, Original Production, Buena Produktama, dan Log Zhelebour Production.

Makelar 

Makin banyak pemain, makin ketat persaingan. Itulah yang terjadi sekarang dalam industri konser di Tanah Air. Bisnis ini menjadi kian dinamis sekaligus rentan. Pasalnya, banyak promotor baru terlalu bernafsu mendatangkan musisi asing sebanyak-banyaknya. ”Yang enak agen artis asing. Mereka bisa menggoreng harga,” kata Log Zhelebour.

Log adalah promotor kawakan yang menguasai hampir semua konser rock di Tanah Air sejak awal tahun 1980-an hingga awal 2000-an dengan bendera Log Zhelebour Production. Agen, kata Log, tinggal menggelar lelang. Promotor mana yang berani bayar paling mahal, dia yang mendapat hak memanggungkan si artis. Akibatnya, tarif artis asing naik berlipat-lipat. ”Band yang dulu tarifnya hanya belasan ribu dollar AS jadi ratusan ribu dollar AS.”

Tommy Pratama dari Original Production mengeluhkan hal yang sama. Dulu, tarif konser Bon Jovi rata-rata hanya 300.000 dollar AS. Namun, karena banyak promotor di sini berani menawar dengan harga mahal, tarifnya naik jadi 600.000 dollar AS dan sekarang menjadi sekitar 2 juta dollar AS. ”Akibatnya, harga tiket konser di Indonesia jadi mahal sekali. Kasihan, kan, penonton,” ujarnya.

Pada saat yang sama, kini bermunculan makelar konser yang membuat rantai transaksi di industri ini bertambah panjang. Mereka agresif memburu artis asing dan menawarkannya terutama kepada promotor baru atau investor. ”Sebagian makelar ini nakal,” tutur Indra Kurniawan (31) yang berbisnis sebagai agen konser.

Jika para promotor baru tidak rasional dengan bisnisnya, dalam waktu singkat mereka pasti gulung tikar. ”Dua tahun lalu ada juga promotor yang seradak-seruduk, sekarang namanya tidak terdengar lagi,” tutur Tommy.

Achmad mengakui, persaingan bisnis konser sangat keras. ”Saingan kami bukan hanya sesama promotor lokal, melainkan juga promotor dari Singapura,” ungkapnya. 

Bisnis besar

Bisnis konser memang menggiurkan. Uang yang digelontorkan sangat besar. Sebuah konser musik di Indonesia umumnya digelar dengan dana antara 10.000 dollar AS dan 2 juta dollar AS atau Rp 90 juta-Rp 18 miliar. ”Keuntungannya 10-20 persen, bahkan saya pernah untung 200 persen,” kata Tommy.

Konser skala kecil yang digelar berbagai perusahaan dalam rangka promosi saja sudah menggiurkan. Nilai tiap proyeknya kecil, tetapi jumlahnya seabrek-abrek. Rani Badri (45), pemilik Image Management, perusahaan yang menyediakan layanan perancangan dan penyelenggaraan acara, menangani sekitar 20 konser musik berbagai perusahaan. Tahun 2011, jumlahnya meningkat menjadi lebih kurang 30 acara.

”Nilai proyeknya mencapai Rp 300 juta-Rp 3 miliar dengan upah 12,5 persen. Ya, cukuplah membuat wajah gue cerah terus,” katanya sambil tersenyum.

Rivelino Vivekananda atau Nanda (40) juga bermain di kelas ini. Pemilik Visi Cita itu tahun ini menangani sekitar 300 acara berbiaya mulai dari Rp 2 juta sampai belasan miliar rupiah. ”Jasa saya dibayar 10-15 persen dari total biaya acara,” kata Nanda.

Cipratan bisnis ini juga dirasakan pemerintah. Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, misalnya, sepanjang tahun 2011 memungut pajak hiburan sebesar Rp 15 miliar atau Rp 1 miliar lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pajak itu dikutip dari sekitar 305 pertunjukan insidental, termasuk konser musik.

Risiko

Meski begitu, kisah di seputar bisnis ini tidak selalu manis. Banyak persoalan bisa muncul tiba-tiba dan merontokkan semua rencana. Big Daddy baru saja merasakannya. Dua penyanyi kondang yang akan mereka panggungkan, yakni Elton John dan Chris Brown, tiba-tiba membatalkan konser.

Yang lebih menyesakkan, pembatalan konser Elton John dilakukan hanya enam hari sebelum tanggal pertunjukan, yakni 18 November 2011. Manajemen Elton selanjutnya memberikan jadwal konser baru setahun kemudian, yakni 17 November 2012.

Rugi? Sudah pasti. Meski Presiden Direktur Big Daddy Michael Rusli tidak bersedia merincinya, dia mengatakan, ”Yang jelas kami telah keluar biaya produksi, sewa panggung, dan tempat.”

Gangguan lain kadang datang tak terduga. Rani Badri menceritakan, acara yang digelarnya nyaris berantakan lantaran dianggap belum lengkap izinnya. ”Ternyata, untuk membuat acara di sana, kami harus izin kepada ormas tertentu,” katanya.

Katakanlah konser berlangsung lancar, itu pun belum tentu mendatangkan uang. Banyak promotor yang modalnya melayang hanya dalam satu malam lantaran konsernya sepi penonton.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com