Menteri Luar Negeri Suriah Walid al-Moualem mengatakan, Selasa, pemerintahnya masih mempertimbangkan apakah akan terus mengizinkan kehadiran tim-tim pemantau untuk memperpanjang kehadiran mereka, setelah sebulan terakhir ini mereka berada di sana guna mengakhiri tindakan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa oleh aparat keamanan Suriah.
”Sudah pasti, solusi untuk Suriah bukanlah seperti solusi yang diajukan oleh Liga Arab yang kami tolak,” ungkap Menlu Suriah Walid al-Moualem.
”Mereka telah meninggalkan perannya sebagai Liga Arab, dan kami tidak lagi menginginkan solusi krisis seperti yang diajukan Arab,” ungkapnya.
Dalam pertemuan di Kairo, Mesir, Senin lalu, Liga Arab mendesak agar Presiden Suriah Bashar al-Assad mengundurkan diri. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan korban tewas mencapai 5.400 orang semenjak meletusnya aksi protes 10 bulan lalu, yang mendesak mundurnya Presiden Bashar al-Assad.
Suriah dipimpin Hafez al-Assad—ayah Bashar al-Assad—sejak 1971-2000. Sepeninggal Hafez, tampuk kepresidenan dijabat putranya, Bashar al-Assad, sampai kini. Baik Hafez maupun Bashar al-Assad keduanya berasal dari etnis minoritas Alawite.
”Sudah menjadi tugas Pemerintah Suriah untuk melakukan apa yang dianggap penting untuk dilakukan guna menghadapi kelompok-kelompok bersenjata yang menyebarkan chaos,” ungkap Menlu Suriah Walid al-Moualem dalam sebuah jumpa pers yang disiarkan televisi, Selasa.
Menlu Suriah menuduh ”separuh dunia” ini telah berkonspirasi untuk melawan Suriah.
”Dan terlihat jelas bahwa sejumlah negara-negara Arab ikut bergabung dalam konspirasi melawan Suriah ini,” ungkap Menlu Suriah. Dan aksi-aksi protes yang merebak semenjak 10 bulan lalu itu, menurut Pemerintah Suriah, dipandang sebagai tindakan kelompok-kelompok bersenjata yang didalangi oleh konspirasi asing di belakangnya.