Nigeria, pemilik energi minyak terbesar di Benua Afrika dengan produksi 2,5 juta barrel per hari, menjadi contoh terbaru untuk itu. Gara-gara keputusan Presiden Goodluck Jonathan yang menaikkan harga minyak pada 1 Januari lalu, warga melakukan protes.
Perekonomian negara lumpuh karena aksi protes di mana-mana. Kerugian akibat aksi protes sebesar 1,3 miliar dollar AS. Presiden menurunkan lagi harga minyak 30 persen karena aksi protes itu, tetapi kerugian sudah sempat besar.
Di samping itu, anjungan minyak milik Chevron terus membara karena terbakar di lepas pantai Nigeria hingga hari kelima pada 20 Januari.
Aksi massa di Nigeria mengingatkan kita pada teori lama bahwa minyak telah menjelma menjadi kutukan.
”Sepuluh tahun dari sekarang, dua puluh tahun dari sekarang, Anda akan melihat minyak membawa kekacauan bagi kita. Minyak adalah ampas setan,” demikian pernyataan politikus Venezuela, Juan Pablo Pérez Alfonzo, salah seorang pendiri Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Ucapannya itu dia utarakan tahun 1973 dan dikutip kembali di majalah Fortune edisi 3 Februari 2003. Dia pernah menjabat sebagai Menteri Pembangunan Venezuela dan merupakan politikus terkenal di negara itu.
Ungkapan ini, kekayaan bisa menjadi kutukan, pertama kali diformalkan oleh ekonom dan pemerhati perminyakan Richard Auty pada tahun 1993. Ini untuk melukiskan bagaimana negara-negara kaya minyak tak mampu menggunakan kekayaan itu untuk menambah kemakmuran warga.
Disebut sebagai kutukan karena banyak negara kaya minyak nyatanya tidak berkembang lebih baik dari segi ekonomi dibandingkan dengan negara miskin sumber daya. Majalah Fortune melanjutkan, ekonom lain, seperti Jeffrey Sachs dan Andrew Warner, telah melakukan beberapa studi.
Hasilnya memperlihatkan korelasi negatif antara kekayaan alam dan kinerja ekonomi. Secara empiris, pada periode 1965-1998, pendapatan per kapita negara-negara anggota OPEC anjlok rata-rata 1,3 persen. Pada periode sama, di negara berkembang miskin sumber daya terjadi kenaikan pendapatan per kapita 2,2 persen.