Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Suriah dalam Tekanan Besar

Kompas.com - 15/01/2012, 02:13 WIB

Musthafa Abd Rahman

Pidato Presiden Suriah Bashar al-Assad, Selasa (10/1), memperlihatkan sikap kukuh untuk tidak menyerah kepada tuntutan perubahan rezim. Namun, Ketua Dewan Nasional Suriah, kelompok oposisi, Burhan Ghalioun, juga tidak mengendurkan tekanan. Campur tangan Barat atas Suriah cukup menggambarkan bahwa krisis politik di Suriah masih mengalami jalan buntu.

Bahkan, Suriah semakin berpeluang tergiring ke arah perang saudara.

Dalam pidatonya, Presiden Assad menawarkan penciptaan konstitusi baru kepada rakyat melalui referendum pada awal Maret nanti. Ini disusul dengan pemilu pada bulan Mei atau Juni mendatang.

Burhan Ghalioun menolak mentah-mentah, bahkan meminta Assad segera mundur. Para pengunjuk rasa di beberapa kota Suriah juga menolak keras tawaran Presiden Assad tersebut. Kubu oposisi berdalih kepercayaan terhadap rezim Presiden Assad sudah hilang. 

Salah satu isi pidato Assad juga mengkritik keras Liga Arab serta elemen regional dan internasional yang dia sebut sebagai persekongkolan. Ini semakin memicu ketegangan hubungan antara Suriah dengan Liga Arab dan dunia internasional.

Presiden Assad menghadapi situasi dilematis. Kehadiran tim pemantau Liga Arab di Suriah saat ini, yang diharapkan dapat membantu meringankan beban rezim Presiden Bashar al-Assad, juga melahirkan problem baru.

Kehadiran tim pemantau Liga Arab di Suriah pada 26 Desember lalu oleh Barat malah dituduh telah memihak rezim Bashar al-Assad. Kemudian Liga Arab membekukan pengiriman tim pemantau baru ke Suriah. Ini bukan saja akibat tuduhan Barat, melainkan juga karena 11 anggota tim pemantau Liga Arab itu mengalami luka ringan akibat serangan dari orang- orang tak dikenal hari Senin lalu di kota Latikia.

Seorang anggota tim pemantau Liga Arab asal Aljazair, Anwar Malik, telah memutuskan mundur dari keanggotaan tim pemantau Liga Arab itu. 

Presiden Assad menyadari situasi yang tidak menjanjikan. Itulah yang mungkin mendorong Presiden Assad tampil lagi di depan ribuan pendukungnya hari Rabu (11/1), di Alun-alun Umawi, Damaskus.

Assad dalam penampilan yang kedua kali dalam kurun kurang dari 24 jam itu semakin membuka front. Dia mengecam semua musuh-musuh politiknya di dalam ataupun luar negeri.

Ikuti jejak Khadafy

Bagi Assad, kini sudah tidak ada pilihan lain, kecuali berperang habis-habisan hingga titik darah penghabisan. Namun, Assad bukan memilih cara yang dilakukan mantan Presiden Tunisia Zein Abidine Ben Ali dan mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak dengan mengundurkan diri. Assad mengikuti jejak almarhum Pemimpin Libya Moammar Khadafy yang memilih untuk melawan.

Dalam lima kali pidatonya sejak meletus revolusi Suriah pada Maret tahun lalu, Presiden Assad tidak memberi isyarat mundur. Assad malah menegaskan, dia menjadi presiden karena kehendak rakyat. Assad mengabaikan aksi unjuk rasa rakyat di berbagai kota selama 10 bulan terakhir. Dalam kisruh tersebut, 5.000 orang telah tewas. 

Beberapa kalangan kini sudah mulai putus asa melihat kondisi Suriah yang makin kacau. Kondisi lapangan di Suriah dari hari ke hari terus memburuk. Semakin banyak aksi pembelotan yang dilakukan anggota militer Suriah.

Sekretaris Jenderal Liga Arab Nabil al-Arabi, dalam wawancara dengan televisi swasta Mesir Al Hayat, Kamis lalu, menyampaikan kecemasan akan meletusnya perang saudara lebih luas di Suriah. Arabi mengatakan, ”Perkembangan peristiwa yang saya lihat dan berita yang saya dengar tentang Suriah sudah mengarah ke perang saudara.”

Menurut Sekjen Liga Arab itu, jika benar-benar terjadi perang saudara di Suriah, hal itu akan merugikan rakyat Suriah dan berdampak negatif terhadap negara-negara Arab lain karena Suriah merupakan negara berpengaruh.

Harian Los Angeles Times edisi hari Kamis (12/1) dalam editorialnya menyebutkan bahwa Presiden Assad benar-benar meniru karakter Khadafy di Libya.

Di sisi lain, para pengunjuk rasa di berbagai kota di Suriah selalu menuntut agar masyarakat internasional segera memberlakukan zona larangan terbang dan membuat zona penyangga seperti wilayah Libya timur ketika melawan rezim Khadafy di Libya.

Namun, hingga saat ini, Barat belum memberi isyarat soal pemberlakuan zona larangan terbang atau membuat zona penyangga di Suriah. Namun, banyak pejabat Barat yang sudah meminta Presiden Assad mundur. Skenario Libya tampaknya tidak dimainkan karena Suriah bukan negara kaya minyak.

Lalu, bagaimana arah kemelut Suriah? Skenario pola Yaman sangat ideal bisa diterapkan, yakni Presiden Bashar al-Assad dibujuk mundur dengan imbalan tidak akan mendapat tuntutan hukum, seperti yang telah dilakukan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh.

Peran Rusia, China, dan Iran yang selama ini memiliki hubungan baik dengan Suriah sangat besar untuk dapat memaksa Presiden Assad bersedia mundur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com