Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiang Gantungan bagi Mubarak

Kompas.com - 07/01/2012, 02:10 WIB

Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak (83) kini menjadi mantan presiden negara Arab kedua, setelah Presiden Irak Saddam Hussein, yang mendapat tuntutan hukuman gantung oleh sebuah pengadilan di negaranya. Saddam Hussein dieksekusi pada bulan Desember 2006, setelah hampir tiga tahun menjalani proses pengadilan di Baghdad.

Penyampaian tuntutan hukum gantung terhadap Mubarak oleh jaksa penuntut umum pada hari Kamis (5/1) terhitung cukup cepat dan berani. Proses pengadilan Mubarak dan kedua putranya, Alaa dan Jamal, serta sejumlah mantan pembantu dekatnya baru dimulai lima bulan lalu, yakni sejak Agustus 2011.

Publik Mesir sempat meragukan atas masa depan proses pengadilan Mubarak setelah mantan menteri pertahanan pada era Mubarak yang kini menjadi ketua dewan agung militer, Jenderal Hussein Tantawi, pada akhir September tahun lalu memberi kesaksian yang meringankan, yakni bebasnya Mubarak dari semua tuduhan selama ini.

Selama revolusi Mesir dalam tempo waktu 18 hari yang berhasil menumbangkan rezim Presiden Mubarak pada 11 Februari tahun lalu, sekitar 850 warga Mesir tewas dan sekitar 6.000 lainnya luka-luka.

Mubarak dan mantan Menteri Dalam Negeri Habib al-Adly beserta empat petinggi kementerian dalam negeri dituduh terlibat pembunuhan warga Mesir itu.

Akan tetapi, tuntutan jaksa penuntut umum yang sangat berat terhadap Mubarak mengejutkan publik Mesir. Harian terkemuka Mesir Al Ahram edisi hari Kamis lalu menurunkan berita utama dengan tinta merah berjudul ”Saat pelaksanaan vonis hukuman sudah dekat”.

Dijadwalkan, pengadilan Mubarak dan para pembantu dekatnya akan dimulai lagi hari Senin nanti yang akan berlangsung selama satu pekan. Pada forum pengadilan pekan depan akan diperdengarkan pembelaan dari pengacara Mubarak dan para korban yang tewas.

Dokumen berkas perkara Mubarak dan kedua putranya serta sejumlah mantan pembantu dekatnya mencapai 20.000 halaman. Jaksa Penuntut Umum Ahmed Rifaat mengklaim telah tiga kali membaca berkas perkara Mubarak sehingga tidak butuh waktu lama lagi dalam mengajukan tuntutan hukuman.

Anggota ikatan pengacara Mesir, Mamduh Ismail, kepada televisi Aljazeera menyambut baik tuntutan hukuman gantung dari jaksa penuntut umum terhadap Mubarak dan sejumlah mantan pembantu dekatnya.

Menurut Ismail, tuntutan jaksa penuntut umum itu adalah adil, baik secara hukum maupun dalam konteks aspirasi rakyat.

Pengacara Mesir Hassan Abu Al-Ainain juga mengatakan, tuntutan hukuman mati terhadap Mubarak itu sudah tepat karena mantan Presiden Mesir itu adalah mitra pelaku asli pembunuhan, yakni para perwira yang menembaki para pengunjuk rasa.

Menurut dia, Mubarak sebagai presiden saat itu seharusnya mengeluarkan instruksi menghentikan pembunuhan dan menjatuhkan sanksi terhadap para perwira polisi yang melakukan penembakan, tetapi Mubarak tidak melakukan semua itu.

Meski demikian, sejumlah analis masih meragukan pengadilan berani menjatuhkan vonis hukum mati terhadap Mubarak sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut itu, selama dewan agung militer berkuasa di Mesir. Para jenderal anggota dewan agung militer itu dikenal loyal kepada mantan Presiden Mubarak karena mereka berkarier dan dibesarkan pada era Mubarak.

Sidang perkara Mubarak pada sesi sidang pertama hari Selasa lalu telah menyetujui pemisahan perkara pembunuhan dan perkara korupsi.

Mubarak dan mantan Mendagri Habib al-Adly serta mantan empat pembantu dekatnya mendapat tuduhan terlibat pembunuhan. Adapun kedua putra Mubarak, Alaa dan Jamal, beserta pengusaha buron Hussein Salim mendapat tuduhan korupsi.

Pengusaha Hussein Salim yang kini dalam tahanan di Spanyol dikenal dekat dengan Mubarak dan sering memanfaatkan kekuasaan Mubarak untuk kepentingan bisnisnya.

Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com