JAKARTA, KOMPAS -
Sebelumnya, dalam kunjungan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa ke Myanmar, akhir Desember lalu, kedua pemerintah sepakat memfasilitasi kerja sama antarkomisi pemerintah, termasuk antar-Komisi Pemilihan Umum.
Pernyataan itu disampaikan Marty, Rabu (4/1), seusai menyampaikan Pidato Pernyataan Tahunannya di kantor Kemlu, Jakarta.
”Sekarang soal (tawaran menjadi pemantau) itu memang masih kami kaji. Kemungkinan dalam pertemuan retret menteri luar negeri se-ASEAN di Kamboja pekan depan, kami coba sampaikan tentang itu ke Myanmar,” ujarnya.
Namun, usulan tersebut tetap harus disampaikan hati-hati dan bertahap, mengingat Indonesia juga merasa harus mempertimbangkan faktor kenyamanan dari pihak yang akan ditawari. Dengan begitu Indonesia akan menunggu prosesnya terus bergulir.
”Jadi nanti tinggal tunggu waktu tepat, kalau Myanmar memang merasa perlu dan nyaman jika dalam pemilunya nanti ada peninjau, ya tentunya Indonesia sudah siap,” tambah Marty.
Sementara itu di Yangon, kelompok aktivis prodemokrasi mempertanyakan, mengapa hanya sedikit tahanan politik Myanmar yang dilepaskan oleh pemerintah dalam program remisi merayakan hari kemerdekaan Myanmar, 3 Januari. Sedikitnya 900 narapidana dibebaskan setelah mendapat pengurangan hukuman.
Menurut anggota senior partai pendukung tokoh prodemokrasi Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Naing Naing, jika ditotal jumlahnya tak lebih dari puluhan orang. Sepanjang Oktober, pemerintahan sipil hasil pemilu, yang didukung militer, baru membebaskan sedikitnya 230 aktivis yang ditahan di penjara-penjara negeri itu.
Upaya itu dilakukan terutama untuk ”merayu” negara-negara Barat mencabut atau meninjau ulang sanksi ekonomi yang selama ini dijatuhkan atas Myanmar.
Negeri itu memang telah menghasilkan sejumlah perubahan setelah pemerintahan hasil pemilu terbentuk, yang dinilai sebagian kalangan cukup signifikan. Perubahan itu seperti pembebasan Suu Kyi dan sejumlah tawanan politik.
Tak lama setelah negara-negara anggota ASEAN sepakat memberi kesempatan Myanmar menjadi ketua pada tahun 2014, sejumlah pejabat dari beberapa negara besar seperti Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan Jepang berkunjung ke sana.
Senin lalu, Presiden Myanmar Thein Sein memperingan hukuman para terpidana mati menjadi hukuman seumur hidup. Pemerintah juga memotong masa tahanan semua tahanan untuk memperingati hari kemerdekaan negeri itu dari penjajahan kolonial Inggris. Sehari setelah itu, sedikitnya 900 orang dibebaskan dari penjara Insein di Yangon.
Sementara pada November lalu, Kementerian Dalam Negeri Myanmar mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan pengaturan penempatan para narapidana politik untuk menjalani masa hukuman di lokasi yang dekat dengan keluarga. Mereka juga dijanjikan akan dibebaskan.