Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Interpelasi Perkuat Kesan DPR Pro Koruptor

Kompas.com - 19/12/2011, 09:34 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Interpelasi soal kebijakan pengetatan pemberian remisi yang diusulkan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dinilai janggal. Interpelasi tersebut justru semakin memperkuat kesan bahwa DPR pro terhadap koruptor.

"Sangat janggal jika DPR mempersoalkan berlebihan kebijakan tersebut. Hingga sampai pengusulan interpelasi yang anehnya justru disambut lebih dari 100 anggota DPR lintas fraksi. Ini memperkuat kesan DPR yang pro koruptor," kata anggota Koalisi Masyarakat Sipil dari Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan melalui siaran pers yang diterima Kompas.com, Minggu (18/12/2011) petang.

Koalisi Masyarakat Sipil menolak usulan interpelasi tersebut. Koalisi juga mengajak anggota DPR yang masih berani dan berkomitmen memberantas korupsi untuk menolak ikut dalam interpelasi.

"Kita tentu tidak ingin lembaga terhormat di negeri ini terus menerus dipersepsikan korup," kata Abdullah.

Mengingat, lanjutnya, survet Transparansi Internasional Indonesia (TII) selama empat tahun berturut-turut menyebutkan bahwa DPR dan partai politik termasuk empat besar lembaga terkorup di Indonesia.

"Kasus yang ditangani KPK saja sudah menjerat 44 politisi, anggota atau mantan anggota DPR, jadi wajar jika kita curiga dengan interpelasi yang sedang bergulir," ungkap Abdullah.

Lebih jauh, dia menjelaskan, DPR salah mendefinisikan hak interpelasinya kali ini. Sesuai dengan definisinya, interpelasi diajukan untuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang berdampak luas.

"Apakah kebijakan remisi berdampak buruk secara luas? Pada masyarakat tentu saja tidak, tapi pada koruptor jelas kebijakan ini berdampak," tuturnya.

"Dari sini kita tahu hak konstitusional DPR tersebut rentan disalahgunakan dan dibajak sebagai alat pembelaan koruptor," tambah Abdullah.

Masyarakat, katanya, sama sekali tidak diuntungkan dengan mekanisme pengawasan melalui interpelasi kali ini.

Ia menambahkan, meskipun belum sempurna, kebijakan pengetatan remisi yang dilakukan pemerintah seharusnya didukung DPR dengan tujuan meningkatkan efektifitas penghukuman dan pemberian efek jera bagi terpidana korupsi.

Pemberian remisi di tengah rendahnya rata-rata hukuman pengadilan terhadap koruptor justru bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Tercatat, rata-rata hukuman koruptor sepanjang 2010 hanya 3 tahun 4 bulan, dan banyak yang dihukum 1 tahun lebih sedikit.

"Publik perlu memberikan dukungan agar koruptor tidak lagi menjadi warga terhormat di negeri ini. Karena tindak pidana korupsi sangat merugikan perekonomian negara, menghianati kepercayana rakyat, dan melanggar hak asasi jutaan rakyat Indonesia," tegas Abdullah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

195.917 Visa Jemaah Haji Indonesia Sudah Terbit

195.917 Visa Jemaah Haji Indonesia Sudah Terbit

Nasional
Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Nasional
Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Nasional
Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Nasional
Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Nasional
Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com