Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembantaian Rawagede Sejarah Kelam Zaman Kolonial

Kompas.com - 12/12/2011, 13:50 WIB

"Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll)Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Belanda menganggap Rawa Gedeh telah menerima pelajarannya.Semua lelaki ditembak mati oleh pasukan yang dinamai Angkatan Darat Kerajaan. Semua perempuan ditembak mati, padahal Belanda negara demokratis. Semua anak ditembak mati".

Belanda Minta Maaf
Sejak tahun 2006, sebuah kelompok yang menamakan dirinya Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) bersama para janda, dan saksi korban pembantaian di Rawagede menuntut permintaan maaf dan kompensasi dari Pemerintah Belanda. Liesbeth Zegveld dari biro hukum Bohler menjadi pengacara mereka.

Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan Pemerintah Belanda bersalah, dan harus bertanggung jawab. Pemerintah Belanda diperintahkan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya. Menurut pengacara korban, jumlah kompensasi per orang sebesar 20 ribu euro atau sekitar Rp240 juta.

Akhirnya, saat peringatan 64 tahun tragedi Rawagede pada Jumat (9 Desember 2011), Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan mengucapkan permintaan maaf atas nama pemerintahnya kepada korban tragedi Rawagede.

"Hari ini kita mengenang anggota keluarga Desa Balongsari yang tewas 64 tahun lalu saat agresi militer Belanda. Saya atas nama Pemerintah Belanda memohon maaf atas tragedi tersebut," kata Duta Besar Belanda untuk Indonesia ,Tjeerd de Zwaan saat mengikuti acara peringatan 64 tahun Tragedi Pembantaian Rawagede di Desa Balongsari, Jumat.

Zwaan mengatakan peristiwa Rawagede merupakan hal yang menyedihkan dan sebuah contoh mencolok tentang bagaimana hubungan antara Indonesia dan Belanda pada masa itu (tahun 1947) berjalan ke arah yang keliru.

"Anda masing-masing tentu mempunyai cara tersendiri untuk mengatasi kenangan pahit tragedi Rawagede. Saya berharap bahwa dengan bercermin bersama pada peristiwa itu, kita bisa melangkah bersama ke masa depan dan bekerja sama dengan erat dan produktif," kata Zwaan.

Pintu Menuju Kasus Lain
Ketua Umum Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) Batara R Hutagalung mengatakan selain tragedi pembantaian di desa Rawagede (Jawa Barat) yang menewaskan 431 orang warga sipil, masih banyak kasus pembantaian lain yang dilakukan tentara Belanda selama agresi militernya di Indonesia tahun 1945-1950.

"Di Provinsi Sulawesi Selatan, keganasan tentara Belanda dibawah pimpinan Raymond "Turki" Westerling yang dilakukan pada bulan Desember 1946 menelan korban 40.000 jiwa," kata Batara.

Batara mengatakan perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya yang membantai penduduk Desa Galung Lombok dan desa sekitarnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan "contra-guerilla", memperoleh "licence to kill" (lisensi untuk membunuh) dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook karena khawatir dengan perlawanan masyarakatlokal terhadap pendudukan tentara Belanda.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com