Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembantaian Rawagede Sejarah Kelam Zaman Kolonial

Kompas.com - 12/12/2011, 13:50 WIB

Oleh Amie Fenia Arimbi

Ibu tua itu sesekali mengerjap lalu menggosok-gosok matanya dengan kain lusuh yang digenggam di tangan kiri. Duduk berdesak-desakan dengan ibu-ibu sebaya lainnya di bawah tenda dengan sinar matahari yang terik menyilaukan mata sama sekali tidak membuatnya merasa gelisah atau merasa ingin pulang saja berteduh di rumah.

Dia justru melihat lurus ke depan, ke arah podium tepatnya, di mana Bupati Karawang, Provinsi Jawa Barat, Ade Swara memberikan pidato singkat dan kemudian diikuti oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia ,Tjeerd de Zwaan. Lalu matanya pun berkaca-kaca.

"Saya tengah mengandung tiga bulan saat melihat suami ditembak oleh pasukan Belanda," Wanti (85 tahun), si ibu tua itu, mulai bercerita.

"Awalnya semua laki-laki diperintahkan keluar dari rumah, lalu disuruh berbaris. Terus kepala mereka ditembak dengan senapan pasukan Belanda, hanya wanita dan anak-anak saja yang lolos," ujarnya sambil menyeka air mata dengan kain lusuh yang dipegangnya.

Wanti bercerita setelah penembakan yang berlangsung pagi hari tersebut, dirinya bersama ibu-ibu lain mulai mencari mayat suami masing-masing. Berbekal peralatan seadanya, warga desa yang tersisa mulai menggali tanah untuk menguburkan jasad keluarga mereka. Karena menggunakan alat sederhana dan lubang yang digali juga tidak dalam, maka bau mayat tercium hingga berhari-hari di desa itu.

Wanti adalah satu dari enam orang janda asal Desa Rawagede yang menuntut pemerintah Belanda atas peristiwa pembantaian yang terjadi pada tanggal 9 Desember 1947 itu atau saat agresi militer Belanda ke Indonesia setelah nusantara menyatakan merdeka tahun 1945.

Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda sebenarnya memburu Kapten Lukas Kustario, Komandan Kompi Siliwangi yang bersama pasukannya dikenal lihai menyerang tentara Belanda. Lukas diduga bersembunyi di Kampung Rawagede.

Diceritakan, karena tidak menemukan Kapten Lukas, maka tentara Belanda pun memerintahkan semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun di kampung itu berdiri berjejer dan memberondong mereka dengan senapan. Diperkirakan 431 orang meninggal akibat penembakan tersebut.

Bertahun-tahun kemudian, seorang veteran tentara Belanda yang tidak mau disebutkan namanya dari Desa Wamel, sebuah desa di Provinsi Gerderland, Belanda Timur, mengirim surat kepada korban tragedi Rawagede yang isinya sebagai berikut:

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com