Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tragedi Besar bagi Indonesia pada 4 Desember

Kompas.com - 04/12/2011, 06:34 WIB

"Wah belum pernah dengar tuh, saya juga baru tahu ada peristiwa itu sekarang ini," ujar salah seorang staf junior Direktorat Asia Selatan dan Tengah Kementerian Luar Negeri di Jakarta saat Kompas.com meneleponnya akhir pekan lalu. "Coba tanya langsung saja pak jubir (Juru Bicara Kemlu Michael Tene)," tambahnya.

Namun, tak lama berselang Kompas.com menemukan jawaban yang kurang lebih sama saat mengontak Michael Tene.

"Maaf, untuk masalah ini saya tidak bisa berkomentar karena saya tidak tahu sama sekali masalahnya. Coba ke Arsip Nasional tapi saya tidak yakin ada catatan lengkapnya di sana," jawab Michael Tene saat Kompas.com tidak bisa mendapatkan keterangan lebih jauh darinya.

Beberapa wartawan junior yang ditanya oleh Kompas.com juga mengaku tidak tahu-menahu soal tragedi ini. Begitu juga beberapa wartawan senior yang pernah aktif mengulas tragedinya mengaku sudah tidak ingat lagi secara runut peristiwa itu karena telah berlangsung lebih dari 30 tahun lalu.

Hal senada juga disampaikan Duta Besar Indonesia di Sri Lanka Djafar Hussein saat Kompas.com menemuinya di Colombo pada bulan Ramadhan tahun ini.

"Sudah lebih dari 30 tahun, satu-satunya jenazah yang utuh adalah pramugari asal Belanda. Saya dengar tergantung di atas pohon," jelas Djafar Husein saat mendeskripsikan dahsyatnya kecelakaan pesawat yang disertai ledakan sehingga sebagian besar jenazah ditemukan dalam keadaan tidak utuh dan tidak semua bagian jenazah berhasil dikumpulkan karena lokasi kecelakaan berada di puncak perbukitan yang belum pernah dicapai manusia sebelumnya.

Hal yang menyentak perhatian wartawan senior Dudi Sudibyo adalah saat Kompas.com menceritakan ulang perjalanannya ke makam massal calon jemaah di Maskeliya yang ditempuh dengan perjalanan kendaraan selama 5 jam dari Colombo.

"Saya kaget juga, prihatin," ujar pengamat penerbangan ini saat mengetahui dari perbicangan telepon dengan Kompas.com pertengahan November lalu bahwa semak belukar yang cukup tinggi telah menutupi makam massal.

Pada pertengahan Agustus lalu, Kompas.com menemukan kondisi monumen makam yang mulai berlumut dan sulit mengenali bentuk makam bahkan dari jarak 5 meter karena tertutup semak belukar yang rimbun. Saat beranjak meninggalkan makam di tengah turunnya hujan rintik-rintik, wartawan Kompas.com baru menyadari ada 8 ekor pacet yang telah bersarang di kedua kakinya yang dibalut dengan celana panjang dan kaus kaki lengkap dengan sepatu.

"Tahun ini saja tidak. Tahun lalu kami memberikan uang ke warga sekitar untuk membersihkan makam," timpal Djafar Husein saat Kompas.com menerangkan pengalamannya dan menanyakan kenapa makam di Maskaliya begitu tidak terawat.

Djafar Husein berharap kunjungan wisata Indonesia - Sri Lanka lebih diintensifkan sehingga makam massal ini tidak hanya menjadi perhatian KBRI Colombo. Selain menjelaskan tidak ada lagi pihak keluarga korban kecelakaan pesawat yang nyekar, Djafar Husein mengaku makam massal di Maskeliya biasanya dibersihkan sekali setiap tahun oleh KBRI Colombo.

Dudi Sudibyo yang beberapa tahun silam sempat berkunjung ke Maskaliya dan menyaksikan makam itu dalam kondisi terawat menyayangkan kenyataan yang ditemukan oleh Kompas.com. Wartawan senior majalah Angkasa ini berpendapat seharusnya Pemerintah Indonesia meniru langkah Pemerintah Belanda yang tetap memberikan perhatian penuh ke warganya yang wafat di Indonesia.

"Yah itu mesti jadi contoh kita. Coba lihat makam Belanda di Menteng Pulo dan Ancol, bagusnya bukan main. Bayangkan mereka itu ada yang wafat mulai Perang Dunia II... dan tragedi haji kita itu terjadi tahun 1974," urai Dudi Sudibyo saat membandingkan kepedulian antara Pemerintah Indonesia dan Belanda dalam merawat makam warganya di luar negeri.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com