Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suriah dan Peta Baru Politik Arab

Kompas.com - 03/12/2011, 02:22 WIB

Posisi Arab Saudi di Liga Arab sangat kuat. Bukan hanya karena statusnya sebagai negara pendiri, melainkan juga karena iuran negara itu bagi pendanaan Liga Arab juga paling tinggi. Sebaliknya, Suriah adalah negara dengan iuran rutin termasuk yang terendah bersama beberapa negara Arab-Afrika bagian selatan.

Arab Saudi sebenarnya sejak lama menginginkan Suriah mendekat ke barisan negara-negara Arab pro-Barat atau menjauh dari Iran yang dipandang sebagai sumber ancaman terbesar kerajaan itu. Faktanya, Suriah justru terus meningkatkan kedekatan strategisnya dengan Teheran.

Oleh karena itu, jatuhnya rezim Assad merupakan keuntungan politik tersendiri bagi Arab Saudi. Apalagi Suriah juga dicurigai terlibat dalam upaya mengobarkan protes rakyat yang sempat muncul di beberapa kota di Arab Saudi.

Kedua negara itu, Qatar dan Arab Saudi, jadi sangat agresif dalam politik luar negerinya di kawasan itu sejak kejatuhan Mubarak. Mereka tak lagi dapat memercayakan kepentingan dan jaminan kelangsungan kekuasaannya kepada AS. Tak adanya pembelaan AS secara tegas dan signifikan terhadap Mubarak dalam proses kejatuhannya, padahal Mubarak sangat loyal kepada AS selama berkuasa, membuat kedua negara itu berupaya bertumpu kepada dirinya sendiri, baik dalam pertahanan maupun pergaulan internasional.

Lebanon-Irak

Pemimpin negara Arab anti-Barat tampaknya tetap dipegang Suriah. Pemerintah Suriah menyebut Liga Arab telah jadi ”sebuah alat kecil” bagi kepentingan AS. Suriah memandang penggalangan dukungan negara-negara Arab untuk mengisolasi mereka tak terlepas dari upaya lanjutan AS menekan Suriah.

Sikap Lebanon dan Irak yang tidak mendukung keputusan itu boleh jadi didasari kepentingan-kepentingan pragmatis. Lebanon adalah negara yang mirip sebuah halaman depan bagi Suriah. Sebagian besar wilayah negeri pinggiran Laut Mediterania itu berbatasan dengan Suriah. Hubungan kedua negara, sebelum pembunuhan Rafiq Hariri, ibarat dua daerah berdekatan dalam satu negara. Sangat dekat, sehingga kantor perwakilan Suriah di Lebanon atau sebaliknya pun tidak ada. Bukan karena bermusuhan, melainkan karena kedekatan yang hampir menyatu. Barangkali ini jadi bagian pertimbangan sikap Lebanon yang menentang keputusan sanksi berat atas Suriah.

Namun, sikap Lebanon sepertinya juga tak lepas dari pergantian rezim di dalam negeri itu. ”Penguasa” pemerintahan baru Lebanon sangat dekat dengan Hezbollah yang merupakan sekutu dekat Iran dan Suriah. Retorika Hasan Nasrallah, Sekjen Hezbollah, menanggapi keputusan Liga Arab itu jauh lebih keras daripada respons Presiden Assad sendiri. Nasrallah dalam beberapa pidatonya sudah mengancam kemungkinan pecahnya perang kawasan.

Pragmatisme Irak, selain faktor luasnya perbatasan, adalah kenyataan bahwa ribuan pengungsi Irak berada di Suriah, demikian pula sebaliknya. Mereka juga menghadapi ”persoalan” dalam negeri yang sama, yakni masalah Kurdi. Namun, faktor Nuri al-Maliki yang dikenal cukup menjaga ”hubungan baik” dengan Teheran disebut-sebut sebagai faktor penting bagi sikap Irak untuk abstain. Sementara penolakan Yaman terhadap keputusan itu diperkirakan terkait posisi rezim Yaman yang hampir sama dengan rezim Assad, bahkan sudah di ujung tanduk.

”Aktor baru”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com