Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Uighur, Bara Api yang Siap Tersulut

Kompas.com - 30/11/2011, 10:30 WIB

Jumat (4/11) malam, dua polisi keluar dari pos (mobil) mereka di Lapangan Rakyat di Renmin Timur di pusat kota Kasghar, Xinjiang, China. Dengan wajah tanpa senyum, mereka melarang berfoto dengan latar pos polisi itu. Padahal, lapangan dengan latar depan patung pemimpin China Mao Zedong itu menjadi obyek foto yang menarik.

Tiga bulan sebelumnya, Kashgar dilanda kerusuhan etnis. Akhir Juli hingga awal Agustus 2011, sedikitnya 21 orang tewas. Korban umumnya dari etnik Uighur yang adalah pemeluk Islam. Pusat bisnis tutup. Polisi disebar di jalan-jalan.

Pertengahan Juli 2011, kerusuhan juga melanda Khotan, kota di sebelah tenggara Kashgar. Saat itu, sekelompok orang dari etnik Uighur menyerang dan menduduki kantor polisi dan membunuh empat orang. Kerusuhan juga pernah melanda Urumqi, ibu kota Provinsi Xinjiang. Pemerintah China menindak tegas aksi itu. September 2011, empat pria dihukum mati. Dua orang lainnya dihukum 19 tahun penjara. Bahkan, pertengahan tahun ini, menurut laporan Amnesty International, puluhan orang Uighur dipenjarakan hanya karena membicarakan kerusuhan etnik yang terjadi dua tahun lalu di Urumqi.

Sembilan orang yang dituduh sebagai provokator dihukum mati. Ratusan orang lainnya dipenjara. Aksi perjuangan etnik Uighur pun dicap terorisme. Kekerasan itulah yang diprotes dunia, termasuk Kongres Uighur Dunia, Amnesty International, dan Human Rights Watch.

Dalam soal terorisme, arus besar dunia adalah perang melawannya. ”Islam menentang terorisme dan ekstremisme,” kata Wakil Ketua Asosiasi Islam China Mustafa Yang Zhibo di Beijing, 8 November lalu. ”Untuk itu, fungsi kami (Asosiasi Islam China) adalah menjelaskan kembali Al Quran untuk menghadapi masalah yang berkembang sekarang ini,” katanya.

Ibarat bara

Namun, seperti Tibet, Uighur ibarat bara api yang setiap saat siap tersulut. Penyebab utamanya, antara lain, sentimen etnik antara orang Uighur yang penduduk asli wilayah China bagian barat dan pendatang dari etnik Han yang berlarut-larut. Dalam waktu 50 tahun, komposisi penduduk di Xinjiang berubah drastis. Migrasi orang Han terjadi besar-besaran. Pada awal rezim komunis tahun 1949, etnik Han di Xinjiang hanya 6 persen. Namun, sepuluh tahun silam, jumlahnya melonjak lebih 40 persen, hampir menyamai etnik Uighur yang 45 persen.

Tentu saja perbedaan perlakuan dirasakan orang Uighur. Apalagi, rata-rata etnik Han lebih baik secara ekonomi dan sosial. Tak mengherankan, orang Uighur yang ditemui Kompas selalu memberikan tanggapan negatif terhadap Pemerintah China atau etnik Han. Ada sentimen yang tersembunyi di benak orang Uighur. ”Orang Han banyak menguasai semua bidang,” kata seorang pria paruh baya dari etnik Uighur di Pasar Bazzar Kashgar, awal November silam.

Sebaliknya, ada juga etnik Han yang merasa diperlakukan beda. Contohnya dalam kebijakan keluarga. Orang Han merasa orang Uighur, sebagaimana 56 etnik minoritas lainnya, mendapatkan hak istimewa dari pemerintah, antara lain boleh memiliki anak lebih dari satu. Kepala Komisi Agama dan Etnik Provinsi Ningxia Li Wenming, misalnya, juga mengakui, kemudahan untuk anak-anak yang hendak masuk ke sekolah dari etnik minoritas, seperti Hui dan Uighur.

Namun, di luar itu semua, etnik Uighur merasakan ada ancaman terhadap identitas mereka. Orang Uighur merasa ada pembatasan dalam menjalankan kegiatan keagamaan. Namun, pemerintah setempat yang didukung tokoh agama menegaskan, kebebasan beragama sangat dihormati.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com