Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyongsong Libya Baru

Kompas.com - 26/10/2011, 03:32 WIB

Oleh Zuhairi Misrawi

Kematian pemimpin agung Libya, Moammar Khadafy, menggemparkan dunia. Di Libya, kematiannya disambut dengan sukacita oleh rakyatnya sendiri. Mereka menganggap Libya tanpa Khadafy adalah harapan untuk membangun negara demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Khadafy merupakan pemimpin yang menyimpan misteri. Di tengah citranya yang baik di luar negeri karena berani melawan rezim Barat, ia menyimpan trauma bagi rakyatnya. Atas nama sistem al-jamahiriyyah, yang mengandaikan kekuasaan dan kedaulatan di tangan rakyat, Khadafy memimpin Libya dengan tangan besi.

Tak hanya itu. Ia juga menguasai kekayaan Libya yang melimpah ruah, khususnya dari sektor minyak. Bahkan, pada detik terakhir meninggalkan Tripoli, ia dikabarkan membawa emas dan uang dalam jumlah besar dari bank sentral Libya.

Selama memimpin Libya, Khadafy tak membolehkan ada penguasa lain di luar dirinya. Tak boleh ada siapa pun yang berbeda pandangan dengan dirinya, baik melalui lisan maupun tulisan. Ia tak segan-segan memenjarakan, membunuh lawan politiknya.

Setelah kematian Khadafy, Libya menyambut era baru: lahirlah demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia. Sejak Tripoli jatuh ke tangan pihak revolusioner (Dewan Transisi Nasional/NTC) pada 22 Agustus lalu, kekuasaan Khadafy de facto sudah berakhir. Harapan menyongsong era baru menggema di seantero Libya. Kematian Khadafy di tangan kaum revolusioner telah memastikan era demokrasi akan segera berkecambah.

Meski demikian, jalan menuju demokrasi bukanlah hal mudah bagi rakyat Libya. Itu karena selama 42 tahun dipimpin Khadafy, mereka tak punya pengalaman dan kultur berdemokrasi. Tak ada konstitusi, partai politik, kelompok masyarakat sipil, dan media independen yang kritis terhadap rezim. Satu-satunya kelompok yang dibiarkan eksis: kelompok berbasis kesukuan.

Suku-suku itu dibelah dalam dua kubu: mayoritas dan minoritas. Suku mayoritas cenderung menikmati kue kekuasaan daripada suku minoritas, yang jumlahnya lebih kurang 140 suku. Kekuasaan Khadafy sepenuhnya disokong suku mayoritas: Qadhdhafa, Warfalla, dan Targhuna.

Pentingnya HAM

Sebelum membangun demokrasi, diperlukan dua hal penting agar demokrasi tumbuh subur di negeri kaya minyak itu. Pertama, tumbuhnya kesadaran tentang pentingnya hak asasi manusia, yang meniscayakan tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal untuk mengukuhkan kesetaraan dalam kewarganegaraan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com