Serangan udara NATO yang dilancarkan tak kunjung berhasil membunuh pemimpin eksentrik itu. Bahkan, dalam sebuah kesempatan Mei lalu, Khadafy berseloroh bom-bom pesawat tempur NATO tak akan bisa menewaskannya.
Walau belakangan sejumlah anggota keluarganya ketahuan melarikan diri ke luar negeri, Khadafy menyombongkan diri tak akan pernah kabur dari negerinya itu dan memilih mati di sana. Dia masih sangat percaya rakyat mendukungnya sebagai seorang ”Saudara Pemimpin dan Pemandu Revolusi”.
Sayangnya keyakinan itu semakin memudar seiring dengan semakin menguatnya perlawanan kelompok pemberontak. Terakhir, menjelang kematiannya, Khadafy dan sekelompok loyalisnya terdesak di tanah kelahiran Khadafy, Sirte.
Walau tewas mengenaskan, setidaknya ”keinginan” Khadafy untuk mati di tanah kelahirannya sendiri seperti dia pernah selorohkan sebelumnya telah terpenuhi. Dia tewas di tangan bekas rakyatnya sendiri.
Namun, kasus Khadafy ini sekaligus membuat kita harus bertanya. Benarkah kedaulatan sebuah negara dihargai dunia? Ini merujuk pada dalam dan mengakarnya peran Barat di balik penjungkalan hingga pembunuhan Khadafy.
Benar bahwa Khadafy kejam. Namun, apakah kekejaman itu melegitimasi campur tangan pihak luar untuk menjalankan skenario penggulingan yang tersamar dengan mandat Dewan Keamanan PBB?
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.