Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan Panjang Sang Kolonel

Kompas.com - 23/10/2011, 03:09 WIB

 Wsnu Dewabrata

Seolah menjadi semacam trofi kemenangan, sejumlah media massa internasional menayangkan gambar jenazah penguasa diktator Libya, Kolonel Moammar Khadafy, tergeletak berlumuran darah di atas trotoar di salah satu sudut kota kelahirannya, Sirte, dikelilingi orang-orang bersenjata.

Khadafy diyakini tewas tak lama setelah dia dan para pengawal setianya terlibat kontak tembak dengan pasukan pemberontak, Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya. Dari sejumlah laporan dan kesaksian disimpulkan, Khadafy juga sempat tertembak di bagian kaki saat sebelumnya mencoba melarikan diri.

Khadafy tertangkap setelah ketahuan bersembunyi di dalam gorong-gorong. Dia kemudian diseret keluar lalu dieksekusi oleh para pemburunya. Padahal, dari cerita saksi mata, Khadafy sempat meminta agar dirinya tidak dibunuh.

Sayang, kebencian para ”eksekutor”-nya itu sudah berada di titik terpuncak dan tak bisa lagi dibendung. Dari salah satu rekaman video, diyakini berisi detik-detik terakhir menjelang ajal Khadafy, tampak sang diktator digelandang lalu dihajar beramai-ramai dan ditembak mati.

Dua tembakan ”bersarang” di bagian kepala dan dada sang diktator. Hal itu diduga menjadi penyebab utama kematiannya. Para pemberontak dan rakyat anti-Khadafy di seluruh penjuru Libya bersorak-sorai dan bergembira.

Mungkin mereka sudah tidak mau lagi mengingat kekejaman Khadafy, setidaknya sejak munculnya gelombang aksi prodemokrasi. Selama delapan bulan terakhir, sekitar 22.000 warga Libya tewas karena serangan pasukan Khadafy.

Mungkin juga mereka jengkel dengan sebutan Khadafy, yang memanggil penguasa Libya sekarang sebagai tikus-tikus.

Sejumlah pemimpin negara, mulai dari Amerika Serikat dan anggota NATO, yang ikut ”mensponsori” penggulingan sang diktator atas nama kekayaan minyak bumi negeri itu, ikut menyambut gembira.

Lantas, bagaimana sebenarnya sepak terjang Khadafy hingga pada saat terakhirnya? Apa yang membuatnya begitu dibenci, termasuk oleh rakyatnya sendiri, padahal konon pada masa mudanya dia pernah dianggap oleh sebagian kalangan seolah ”Che Guevara”-nya Afrika?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com