Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gorong-gorong Sirte

Kompas.com - 22/10/2011, 03:32 WIB

Trias Kuncahyono

Film yang disiarkan jaringan televisi Al Jazeera, Kamis malam, memberikan gambaran jelas betapa tragisnya akhir perjalanan hidup mantan orang nomor satu Libya, Moammar Khadafy (69). Dengan wajah dan baju berlumuran darah, mata lebam dan setengah terbuka, kepala botak dengan rambut awut-awutan, Khadafy dipaksa tidur telentang di atas kap mesin mobil. Orang-orang bersenjata memeganginya.

Ketika mobil berjalan, badan Khadafy melucur ke bawah dan akhirnya jatuh ke tanah. Ia pun didorong-dorong berjalan di depan mobil. Orang-orang yang mengerumuninya semua bersenjata. Yang terjadi selanjutnya tidak jelas... yang muncul kemudian adalah gambar tubuhnya sudah terletak tak bernyawa di tanah. Di tempat lain, PM Dewan Transisi Nasional (NTC) Mahmoud Jibril mengatakan, ”Menurut laporan forensik, kolonel meninggal karena tembakan....”

Begitulah akhir ”Raja Diraja” Afrika—begitu Khadafy menyebut diri; begitu nasib penguasa tunggal Libya selama 42 tahun yang selalu meneriakkan slogan ”Tuhan, Moammar, Libya: Cukup!”. Khadafy seperti harus menelan kembali apa yang ia tudingkan kepada rakyatnya yang melawan dirinya, ”...mereka itu tikus-tikus....” Ia ditangkap ketika bersembunyi di gorong-gorong di Sirte, kota kelahirannya.

Tragis! Apa yang ia alami bertolak belakang dengan ketika masih berkuasa; ketika ia memimpikan bersatunya seluruh negara Afrika dan ia menjadi presidennya. Akhirnya hidupnya lebih tragis dibandingkan Saddam Husssein yang dihukum gantung, setelah melalui proses pengadilan, meski diragukan apakah ia diadili secara fair atau tidak, adil atau tidak.

”Pengawal Revolusi” itu, begitu ia menyebut dirinya, menjadi pemimpin Arab pertama yang dibunuh rakyatnya sejak pecah pergolakan rakyat—”Arab Spring”—melanda sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Revolusi memang ganas, tetapi seorang diktator juga ganas.

Tewasnya Khadafy meninggalkan banyak persoalan di negerinya: kurangnya (mungkin malahan tidak ada) institusi pemerintah yang kredibel dan sejarah permusuhan antar-wilayah serta perpecahan antar-suku dapat mengancam pecahnya pertumpahan darah baru. Hal itu bisa mengganggu masa transisi.

Libya harus memulai dari awal; membangun institusi pemerintah, membangun institusi-institusi demokrasi termasuk berdirinya partai-partai politik yang merupakan elemen utama demokrasi, memberikan kebebasan pers, mendorong tumbuhnya kelas menengah, menumbuhkan saling percaya antar-suku, antar-wilayah yang menjadi pilar bangunan Libya baru.

Apa yang bisa dicatat dari kisah Khadafy? Kekuasaan yang membuatnya lupa diri itu ternyata bukan segala-galanya. Seneca, filsuf Roma (4 SM-65 M), pernah menyindir Aleksander Agung dengan mengatakan, ”Armis vicit, vitiis victus est—dia menang dengan senjata (tetapi) dia dikalahkan oleh kejahatan-kejahatannya (sendiri).” Begitu pula Khadafy!

Tidak mengherankan, juga tidak salah, kalau kematiannya dirayakan penuh sukacita oleh rakyat Libya layaknya pesta kemenangan. Kematian itu adalah garis batas terakhir dari segalanya, termasuk kediktatoran seorang Moammar Khadafy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com