Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keputusan Berat Diambil

Kompas.com - 21/10/2011, 03:03 WIB

BANGKOK, KAMIS - Walau terkesan lamban, Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra akhirnya mengambil keputusan sulit. Ibu kota negara, Bangkok, tidak mungkin lagi dipertahankan agar tetap ”kering” karena itu berarti mengorbankan wilayah lain, yang jauh lebih luas, terendam air.

Keputusan sulit itu disampaikan Yingluck, Kamis (20/10). Banjir besar yang terjadi di ”Negeri Gajah Putih” itu diketahui memang telah merendam sebagian besar wilayah Thailand.

Genangan air terparah terutama terjadi di wilayah-wilayah lebih rendah, kebanyakan berada di luar kota Bangkok. Padahal, di kawasan seperti itu terdapat sedikitnya 12 juta orang, yang sebagian besar dari mereka kehilangan tempat tinggal.

Banjir besar Thailand akibat curah hujan tinggi sepanjang tiga bulan terakhir itu telah memicu eksodus pengungsi besar-besaran. Bahkan, dilaporkan, banjir telah memakan lebih dari 320 korban jiwa di beberapa tempat.

”Kita tidak bisa lagi menahan air. Semakin lama ditahan, ketinggian air justru semakin bertambah. Kita butuh area untuk menyurutkan air di wilayah-wilayah yang lebih rendah,” ujar Yingluck.

Untuk itu, tambahnya, tidak ada pilihan selain membuka semua pintu air, yang selama ini juga melindungi ibu kota negara, Bangkok. Dengan membuka pintu-pintu kanal tersebut, ketinggian air di wilayah-wilayah yang selama ini tergenang air parah diharapkan berangsur-angsur surut.

Namun, langkah tersebut diketahui juga sangat berisiko. Jika debit airnya jauh lebih besar dari yang bisa ditampung dan dialirkan kanal-kanal itu, Bangkok bisa terendam kelebihan air banjir yang melimpah.

Diperkirakan aliran air yang akan ”didorong” ke laut melalui Bangkok itu sudah akan ”lewat” mulai akhir pekan ini.

Selama ini Bangkok memang terbilang aman dari genangan air besar Thailand. Otoritas setempat melindunginya dengan menutup pintu-pintu kanal.

Bangkok memang ”kering”, tetapi aliran air yang tertahan justru semakin menambah ketinggian air di kawasan yang sudah terendam sebelumnya. Kebijakan itu bisa dipahami mengingat Kota Bangkok adalah jantung perekonomian dan pemerintahan Thailand, juga tempat Raja Thailand bertakhta.

”Banjir datang dari segala penjuru. Kita sama sekali tidak bisa lagi mengontrolnya. Jumlah debit air banjir sudah terlalu besar. Masalah ini sangat luar biasa dan sudah jadi krisis nasional. Saya berharap semua orang bersedia bekerja sama,” ujar Yingluck.

Perkembangan banjir

Pihak otoritas Thailand mengeluarkan peringatan terhadap sedikitnya tujuh distrik di kawasan utara dan barat dari Kota Bangkok.

Mereka berisiko dilanda banjir menyusul kebijakan pemerintah membuka pintu-pintu air itu. Masyarakat di kawasan itu juga diminta mempelajari rencana evakuasi.

Selama ini kawasan utara dan tengah Thailand menjadi wilayah yang paling parah terkena dampak banjir.

Puluhan ribu prajurit militer dan polisi juga dimobilisasi untuk menjaga tanggul-tanggul banjir darurat yang dibuat lantaran masyarakat yang panik mencoba merusaknya.

Kota Bangkok selama ini dilindungi sistem drainase yang canggih. Sistem itu terdiri dari 200 pintu air, 158 stasiun pompa, 7 terowongan raksasa bawah tanah, dan 1.682 kanal untuk melindungi kawasan seluas 2.604 meter persegi.

Sementara itu, bandar udara internasional Bangkok masih beroperasi normal. Selain terlindungi mekanisme pengendalian banjir itu, lokasinya juga ada di bekas rawa-rawa yang dikeringkan. (AFP/DWA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com