Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Relasi Muslim-Kristen di Mesir

Kompas.com - 12/10/2011, 02:11 WIB

Zuhairi Misrawi

Sebagai salah satu teladan hubungan Muslim-Kristen di dunia Islam, Mesir sedang diuji dengan ”Tragedi Maspero”. Demonstrasi damai yang digelar kalangan Kristen Koptik di Maspero—alun-alun Kairo—itu berakhir bentrok dengan militer. Tercatat 25 orang tewas dan ratusan orang luka-luka.

Pada mulanya demonstrasi yang digelar sebagai simpati kalangan Kristen Koptik atas perusakan gereja di Aswan berlangsung damai. Para demonstran meminta agar Perdana Menteri dan Dewan Agung Militer mengganti Gubernur Aswan karena dianggap tidak mampu menjamin kebebasan beragama dan melindungi kalangan minoritas, khususnya penganut Kristen Koptik.

Di titik nadir

Pasca-jatuhnya Hosni Mubarak, keamanan di negeri piramida itu semakin tidak menentu. Dewan Agung Militer sebagai pemegang mandat pemerintahan transisi terlihat mulai kehilangan wibawa di mata publik karena dianggap tidak mampu memberikan rasa aman. Kelompok minoritas—seperti Kristen Koptik, Katolik, dan Injili—merupakan pihak yang sedang merasa terancam akibat ketidakmampuan pemerintahan transisi memberikan perlindungan dan jaminan keamanan.

Sejak bom bunuh diri di Gereja Qadisia, Alexandria, pada akhir tahun 2010, perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas kian meningkat. Revolusi yang menjatuhkan Hosni Mubarak tidak memberikan rasa aman kepada mereka, tetapi justru menjadi mimpi buruk. Faktanya, perusakan sejumlah gereja dan perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas terjadi di Kairo dan Aswan.

Kekhawatiran kelompok minoritas di Mesir dapat dimaklumi dalam situasi politik yang labil seperti saat ini. Apalagi secara historis konflik sektarian yang berbasis agama kerap terjadi meskipun dalam skala kecil. Pada tahun 1973, pembakaran Gereja Khanka di Kairo menyebabkan konflik Muslim-Kristen meluas. Pada tahun 1981, konflik memanas kembali di kawasan Shubra, yang dikenal sebagai perkampungan padat, dihuni oleh kalangan Muslim dan Kristen. Presiden Anwar Sadat menangkap 1.500 orang yang diduga terlibat dalam konflik tersebut, yang kemudian berakhir dengan pembunuhan Anwar Sadat oleh kelompok ekstremis (Milad Hanna: 1999).

Setelah peristiwa tersebut hampir tidak terdengar konflik yang berarti di antara kalangan Muslim-Kristen. Presiden Hosni Mubarak relatif berhasil menanamkan nasionalisme dan menindak tegas kelompok ekstremis yang mengancam keamanan dan kedamaian.

Di samping itu, Al-Azhar sebagai institusi keagamaan yang mempunyai reputasi dan basis kultural yang kuat kerap kali menyuarakan dialog antaragama. Para tokoh lintas agama melakukan silaturahim secara rutin dalam rangka meningkatkan harmoni dan toleransi di antara mereka. Tidak hanya itu, Al-Azhar mendirikan desk khusus yang secara khusus membangun dialog dengan Vatikan sebagai komitmen dialog antariman.

Namun, revolusi yang berhasil melengserkan Hosni Mubarak telah memunculkan problem baru yang sangat serius: konflik sektarian berbasis agama. Penyerangan dan perusakan gereja dilakukan oleh kelompok ekstremis, yang selama rezim Hosni Mubarak tidak mempunyai akses untuk melancarkan misinya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com