Transmigran yang berasal dari Kabupaten Subang, Sukabumi, Karawang, dan Bekasi, itu menempati areal bekas hutan di SP (satuan permukiman) 3, Desa Dehegila, Kabupaten Morotai, 20 kilometer dari Daruba, ibu kota Kabupaten Morotai.
Suwarno (52), salah satu transmigran, mengakui sudah sembilan bulan ia dan rekan-rekanya asal Jabar tinggal di SP 3, tetapi masih bergantung pada jaminan hidup dari pemerintah. Padahal, jaminan hidup hanya diberikan selama setahun sejak berada di lokasi transmigrasi atau tinggal tersisa tiga bulan lagi.
Jaminan hidup itu berupa bahan-bahan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, ikan asin, minyak tanah, dan minyak goreng. Jatah itu diberikan per bulan pada setiap keluarga transmigran.
Kondisi ini terjadi karena lahan usaha untuk bercocok tanam seluas dua hektar yang dijanjikan oleh pemerintah, tidak kunjung terealisasi. Menurut pantauan Kompas, para transmigran akhirnya memanfaatkan lahan pekarangan untuk bercocok tanam.
”Hasilnya sedikit. Kalau nanti jaminan hidup sudah tidak ada, kami tidak mungkin bergantung pada hasil tanaman di pekarangan,” ujar Edi Wahyono (47), transmigran lainnya.
Saat panen kacang panjang beberapa pekan lalu, Edi bisa memperoleh sampai 180 ikat atau sekitar 30 kilogram. Namun saat dijual, harga per ikat yang normalnya Rp 1.000 anjlok menjadi Rp 500, bahkan separuh di antaranya tidak terjual. ”Panen bersamaan, tetapi pembelinya nihil,” tambah Edi.
Selain terancam kelaparan, warga juga kesulitan memperoleh air bersih sehingga harus memanfaatkan air sungai yang keruh dan kerap memanfaatkan air hujan.
Puskesmas dan sekolah yang dijanjikan pun belum terwujud. Sebanyak 48 anak-anak transmigran terpaksa belajar di sekolah darurat memanfaatkan bangunan bekas kontraktor dan kuli bangunan yang membangun permukiman transmigrasi. Tenaga pengajar berasal dari warga transmigran itu sendiri.
Kurnia Panca Putra (30), warga transmigran lainnya, mengatakan, masalah ini sudah berulang kali disampaikan kepada pemerintah. Namun janji yang dulu diutarakan pemerintah kepada mereka sebelum berangkat, hanya isapan jempol. ”Kami menuntut dipindahkan ke daerah lain atau dipulangkan ke daerah asal,” katanya.
Kepala Bidang Penyiapan Permukiman Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Morotai Taufik Zainuddin mengatakan, penyediaan fasilitas air bersih, sekolah, puskesmas, dan lahan usaha seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut). Pasalnya, penempatan transmigran di Morotai merupakan program mereka. Hal itu sudah berulang kali disampaikan kepada Pemprov Malut serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun, hasilnya nihil.
Menurut Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malut, Yahya Mahmud, program transmigrasi yang bermasalah tidak hanya Morotai, tetapi juga di kabupaten lain di Maluku Utara, seperti Halmahera Selatan dan Tidore Kepulauan. ”Bisa jadi, munculnya masalah ini berkait maraknya kasus korupsi di birokrasi tingkat pusat-daerah,” katanya.