Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Panjang Terorisme

Kompas.com - 10/09/2011, 03:17 WIB

Oleh Hasibullah Satrawi

Walaupun sudah 10 tahun sejak 11 September 2001, belum ada tanda-tanda bahwa perang melawan terorisme global yang dipelopori Amerika Serikat segera berakhir. Alih-alih berhasil menumpas jaringan terorisme hingga ke akar-akarnya, perang melawan terorisme justru kerap melahirkan teroris baru.

Hal ini terlihat jelas dari banyaknya aksi teror setelah peristiwa 11/9/2001, baik di negara Barat maupun di dunia Islam seperti Mesir, Maroko, Arab Saudi, Pakistan, juga Indonesia.

Benar bahwa perang melawan terorisme global berhasil menangkap dan menembak mati tokoh-tokoh utama jaringan aksi kekerasan ini, mulai dari Noordin M Top yang mati di tangan aparat kepolisian Indonesia hingga Osama bin Laden yang tewas di tangan pasukan elite AS. Namun, semua ini tak berarti bahwa penumpasan terorisme global berhasil.

Buktinya, masih banyak generasi baru teroris yang melanjutkan titah sesat Osama hingga sekarang. Penangkapan dan pembunuhan tokoh utama terorisme justru menjadi penetas bagi lahirnya generasi baru teroris dengan modus serangan dan aksi berdarah yang terus berkembang.

Terjebak militerisme

Salah satu faktor utama kegagalan perang terorisme global adalah keterjebakan pada pendekatan militeristik dan cara-cara kekerasan yang digunakan. Masih segar dalam ingatan: Gedung Putih merancang serangan ke Afganistan sesaat setelah negara adidaya itu dipermalukan para teroris melalui serangan 11/9/2001. Seakan-akan semuanya bulat dan yakin bahwa jaringan terorisme global di bawah kepemimpinan Osama yang dilindungi oleh rezim Molla Omar di Afganistan akan segera sirna terbakar oleh senjata-senjata canggih pasukan AS dan sekutunya.

Perang terorisme global dalam 10 tahun terakhir memberikan pelajaran yang sangat berarti: pendekatan militeristik sangat tak cukup untuk membasmi gerakan terorisme global. Justru militerisme berpotensi melahirkan generasi baru terorisme, terutama tatkala pendekatan itu digunakan secara berlebihan dan alpa akan asas kehati-hatian.

Sebagai manusia, teroris tentu mungkin saja ditangkap dan dibunuh aparat. Namun, sebagai keyakinan, terorisme acap tak tersentuh oleh senjata paling canggih sekalipun. Itu sebabnya pendekatan militerisme gagal membasmi terorisme global.

Pada tahap tertentu, perang melawan terorisme di Indonesia mengalami nasib yang lebih kurang sama dengan perang terorisme global. Pendekatan militerisme yang kerap digunakan oleh aparat dan pemerintah hanya mampu membunuh teroris. Sementara itu, sebagai keyakinan, terorisme kerap tak tersentuh.

Alih-alih berhasil, sepak terjang aparat dalam operasi antiterorisme belakangan ini menjadi sorotan publik—untuk tidak mengatakan dicurigai—akibat kelalaian mereka, terutama setelah operasi antiterorisme di Sukoharjo, Jawa Tengah (14/5/2011), yang menewaskan seorang warga sipil, Nur Iman. Begitu pula dengan penangkapan seorang terduga teroris di Bandung, Untung Budi Santoso, yang meninggal di dalam mobil polisi.

Kepolisian mendaku bahwa warga sipil yang tewas dalam operasi di Jawa Tengah sebagai korban salah tembak oleh para teroris. Untung Budi Santoso diklaim meninggal karena serangan jantung. Namun, klaim kepolisian itu tak mampu menghapus tanda tanya besar yang dirasakan masyarakat tentang apa yang sesungguhnya terjadi.

Bahkan, sebagian pihak mulai mencurigai adanya praktik politisasi dalam operasi antiterorisme. Sinyalemen ini berdasar sebab operasi antiterorisme belakangan ini selalu bersamaan waktu dengan meledaknya skandal-skandal besar.

Terorisme bom paket buku yang terjadi beberapa waktu lalu, misalnya, hampir bersamaan dengan skandal yang diduga melibatkan SBY sebagaimana dibocorkan oleh Wikileaks. Begitu juga dengan penangkapan tokoh teroris, Dulmatin, di Tangerang yang hampir bersamaan dengan heboh akibat skandal Bank Century (9/3/2010). Masih banyak contoh lain.

Kengerian ganda

Dalam konteks ini, persoalan terorisme di Indonesia sering menghadirkan kengerian ganda. Di satu sisi, masyarakat merasa ngeri terhadap kebiadaban aksi-aksi berdarah terorisme. Terlebih lagi tatkala perhatian masyarakat terhadap persoalan terorisme turun drastis belakangan ini, setidaknya dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

Ini terlihat jelas dari penurunan euforia—untuk tidak mengatakan dukungan—masyarakat dalam merespons operasi antiterorisme yang dilakukan aparat keamanan. Keberhasilan kepolisian melumpuhkan Dulmatin dan kawan-kawan, misalnya, disambut dengan euforia yang jauh lebih rendah ketimbang keberhasilan kepolisian melumpuhkan Noordin M Top, Ibrahim, dan Azahari.

Keadaan ini berbeda 100 persen saat kepolisian mengepung dan menyerang sebuah rumah di Temanggung, Jawa Tengah, yang diduga tempat persembunyian Noordin M Top. Masyarakat mendukung penuh operasi antiterorisme tersebut. Bahkan, ribuan orang berduyun-duyun mendatangi ”medan tempur” meski orang yang bersembunyi di rumah itu ternyata bukan Noordin M Top, melainkan Ibrahim.

Di sisi lain, masyarakat juga merasa ngeri terhadap praktik politisasi terorisme. Aksi terorisme dengan dalih teologis seperti yang kerap dilakukan para teroris selama ini masih bisa dipahami (meski sama sekali tidak bisa diterima). Pun demikian dengan aksi terorisme berlatar kemiskinan.

Namun, tak demikian halnya dengan politisasi terorisme. Politisasi ini tidak bisa dipahami sekaligus tidak bisa dibenarkan sebab politisasi terorisme semakin ”menyamarkan” jaringan penuh darah ini, membingungkan masyarakat, bahkan bisa menurunkan kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman aksi terorisme.

Oleh karena itu, semua pihak tak seharusnya melakukan tindak politisasi terorisme dalam bentuk apa pun, baik mereka yang berada di luar pemerintahan, jajaran pemerintah sendiri, maupun jajaran kepolisian dan penegak hukum lainnya. Soalnya, terorisme benar-benar nyata dan berkeliaran di tengah masyarakat.

Perang melawan jaringan terorisme harus menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif mengingat terorisme melibatkan banyak faktor: baik perang dalam tingkat global maupun dalam konteks Indonesia. Jika tidak, perang melawan terorisme akan terus menjadi perang berkepanjangan.

Hasibullah Satrawi Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam pada Moderate Muslim Society Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com