Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Afganistan, Irak, Libya

Kompas.com - 09/09/2011, 04:23 WIB

Campur tangan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Afganistan merupakan proyek terbesar aliansi Atlantik di luar Eropa, kawasan tradisional mereka. Aliansi yang berdiri sejak tahun 1949 ini mulai mengubah strategi dengan tidak hanya berkutat di Eropa. Aksi NATO di Libya ini merupakan kelanjutan dari perang melawan Taliban di Afganistan.

Untuk pertama kali, keterlibatan NATO di Afganistan dijadikan contoh keberhasilan. Selama Perang Dingin, NATO fokus pada stabilitas Eropa. Kini Rusia tidak lagi menjadi ancaman utama. Serangan 11 September 2001 yang dituduh dilakukan Al Qaeda menggeser perhatian NATO, yang masuk ke Afganistan untuk memerangi terorisme internasional.

Kemudian, NATO juga merasa terpanggil mempertahankan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia di seluruh dunia. Di mana terjadi pelanggaran demokrasi, seperti Libya dengan Moammar Khadafy yang diktator, antidemokrasi, NATO akan bergerak.

Dalam dokumen resmi NATO disebutkan, operasi di Afganistan merupakan keberhasilan yang harus dilanjutkan dan kini adalah giliran Libya. Kanselir Jerman Angela Merkel tampaknya telah memberi indikasi itu sebelumnya.

Ke Libya, operasi keamanan dengan beberapa serangan udara dilakukan selama enam bulan. Ini disusul diam-diam dengan mengerahkan pasukan khusus untuk menggempur titik-titik kekuatan pasukan Khadafy. NATO harus memberi hasil maksimum atas pengeluaran dana bagi mesin perangnya, yakni kedamaian yang menghasilkan proyek miliaran dollar AS bagi anggota aliansi Trans-Atlantik ini.

Kampanye untuk membangun prasarana yang rusak akibat perang adalah langkah untuk mengambil hati sekitar 6,5 juta warga Libya. Berbeda dengan Afganistan yang kering sumber daya alam, emas hitam di Libya berlimpah ruah. NATO bisa memanfaatkan kebijakan balas budi kepada para pemberontak Libya yang kelak akan memimpin tampuk pemerintahan. NATO jelas tidak akan membiarkan kerja keras dengan biaya miliaran dollar AS menguap begitu saja.

Libya pun tampaknya tidak akan mengalami fenomena gerilyawan yang berjuang berlarut-larut, seperti di Afganistan di mana Taliban memiliki ideologi yang kuat. Faktor kesukuan di Libya lebih kental. NATO akan lebih leluasa membujuk mereka untuk memikirkan kemakmuran yang akan terwujud bilamana ekspor minyak kembali jalan.

Negara-negara dalam bahaya

Tidak seperti campur tangan di Afganistan karena bahaya terorisme internasional, masuknya NATO ke Libya bukan karena ancaman bersama. Gerak langkahnya sangat kental dengan ambisi NATO untuk mereposisikan diri dari sekadar Pakta Pertahanan Atlantik menjadi semacam pemain global. Posisi ini sepertinya hendak dicapai ketika Amerika Serikat mulai surut dikekang oleh masalah ekonomi dalam negeri.

Namun, di sisi lain, ”keberhasilan” NATO di Libya merupakan preseden buruk bagi negara-negara di dunia. Jika krisis internal terjadi seperti di Libya ini di mana pemimpin kuat mendominasi atau terjadi perang saudara, bisa jadi NATO akan mengulang kembali langkahnya seperti yang sudah terjadi di Afganistan dan di Libya sekarang.

NATO seperti mulai mengalami perubahan meniru Amerika Serikat yang seolah menjadi polisi dunia yang merasa berhak campur tangan dengan jalan apa pun, termasuk menggunakan payung Dewan Keamanan PBB, sesuai kepentingannya.

Kalau sekarang Afganistan menjadi contoh proyek NATO, maka ”sukses” di Libya menggulingkan Moammar Khadafy akan menjadi awal buruk dalam kedaulatan nasional setiap negara. NATO sendiri bisa bergerak dengan dukungan dan restu Amerika untuk masuk ke daerah yang menjadi kepentingannya, seperti mengamankan energi bagi anggotanya, tetapi bisa pula mengamankan jalur perdagangan dan bahkan hak-hak manusia warga negara anggota NATO di tempat lain. NATO atau sebagian anggota NATO bisa jadi akan melakukan aksinya masuk ke suatu negara dengan atau tidak dengan restu PBB dengan dalih membela warganya atau mempertahankan kepentingannya yang merasa terancam.

(Asep Setiawan, Kontributor Kompas di London) Namun, di sisi lain, ’keberhasilan’ NATO di Libya merupakan preseden buruk bagi negara-negara di dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com