Jakarta, Kompas
”Hari ini tidak jadi ditandatangani. Pada 1 September kemarin, CEO (PTTEP Australasia, perusahaan pencemar) sudah bertemu Menteri Perhubungan Freddy Numberi dan menyampaikan meminta waktu. Masalah ini sedang dibahas bersama menterinya yang baru,” ucap Masnellyarti Hilman, Ketua Tim Advokasi Laut Timor (TALT).
Perusahaan meminta waktu sepekan. Pekan depan, kembali diagendakan penandatanganan kesepakatan bersama. Soal kemungkinan PTTEP Australasia kembali mengulur waktu, Masnellyarti mengatakan, Pemerintah Indonesia sudah memberikan tekanan. ”Kalau tidak dilakukan penandatanganan pada September ini, langkahnya akan berbeda,” ucapnya.
Dia menjelaskan, PTTEP Australasia mengakui tumpahan minyak masuk ke perairan Indonesia. Namun, soal dampaknya, perusahaan itu masih memverifikasi. ”Namun, dengan mereka mau diajak menandatangani kesepakatan bersama, itu sinyal jika mereka mengakui,” ucapnya.
Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim, mengatakan, pembiaran perulangan mulurnya waktu penyelesaian Montara merupakan tamparan bagi diplomasi Indonesia. ”Ironis, negara kita ini Negeri Bahari, tetapi lemah dalam berdiplomasi di laut. Harus segera dibangunkan dari tidurnya,” ujarnya.
Ia mengatakan, sikap lemah Indonesia ini menguntungkan Australia. Negeri Kanguru itu bisa menilai, itu menandakan kelemahan Indonesia dalam mengumpulkan bukti pencemaran dan dampaknya ke masyarakat.
Seperti diberitakan, pada 21 Agustus 2009 sumur minyak yang dikelola PTTEP Australasia di Blok West Atlas bocor dan menumpahkan 40 juta liter minyak mentah ke perairan Australia. Gelombang membawa tumpahan minyak ke perairan Laut Timor, Indonesia.
Pihak TALT sejak 27 Juli 2010 mengajukan tuntutan ganti rugi atas tumpahan minyak yang diperkirakan mencemari 70.341,76 kilometer persegi kawasan laut/ pesisir Nusa Tenggara Timur. Pemerintah Australia menyimpulkan, kasus itu tak terjadi sebab perusahaan itu telah menjalankan prosedur operasi standar.