Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Christchurch Kota yang Tak Terlupakan

Kompas.com - 30/08/2011, 18:59 WIB

CHRISTCHURCH — merupakan kota terbesar di Pulau Selatan, Selandia Baru, yang terkenal dengan wisata Aoraki Mount Cook. Pemandangan pegunungan berselimutkan salju pada musim dingin menjadi wisata yang paling laku untuk dijual di kota itu.

Perjalanan menuju Aoraki Mount Cook ditempuh dalam waktu empat jam dari kota Christchurch. Rombongan AirAsia X Media Family Trip yang diikuti beberapa wartawan dari Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, dan India melakukan perjalanan selama empat hari di Christchurch. AirAsia X sedang mempromosikan destinasi baru, Kuala Lumpur-Christchurch yang ditempuh selama 10 jam.

Di sepanjang jalan, keindahan Christchurch sebagai kota taman sangat sayang bila dilewatkan begitu saja. Ada beberapa tempat yang disinggahi sejenak untuk beristirahat, menikmati hawa dingin atau sekadar berfoto.

Salah satunya adalah Danau Tekapo yang sangat indah. Setiap orang yang melewati danau itu pasti akan berhenti sejenak. Danau di dataran tinggi (710 meter di atas permukaan laut) di jantung Distrik Mackenzie. Danau dengan pemandangan gunung-gunung dan dikelilingi rumput berwarna kuning emas.

Nama Tekapo berasal dari bahasa Maori, taka (tikar tidur) dan po (malam). Tanah dan batu kerikil di perairan merupakan lelehan glacier yang menjadikan warna Danau Tekapo unik, warna biru bercampur kehijauan. Saat suhu mencapai nol derajat, beberapa bagian di perairan danau akan membeku.

Di pinggir danau terdapat sebuah gereja tua yang konon selalu menjadi rebutan para calon pengantin untuk mengucap janji setia seia sekata di situ. Gereja kecil itu dinamakan Church of The Good Shepherd (Gereja Gembala yang Baik). Gereja yang dibangun tahun 1935 ini dipenuhi ornamen bebatuan. Sayangnya, pengunjung yang datang tidak bisa masuk ke dalam, hanya bisa melihat dari kaca di dinding belakang gereja.

Tidak jauh dari gereja terdapat sebuah patung anjing yang menjadi simbol peternakan domba di Mackenzie. Setiap orang yang datang pasti akan menyempatkan diri untuk berfoto di situ. Bila ingin menginap semalam, ada beberapa tempat penginapan, dari yang murah sampai yang mahal.

Salah satu penginapan yang menawarkan pemandangan indah di sekitar Danau Tekapo adalah Pepers Bluewater Resort. Penginapan yang langsung menghadap ke danau ini menawarkan harga lumayan tinggi untuk satu kamarnya, sekitar 300 dollar Selandia Baru (NZD) atau Rp 2,1 juta. Harga itu bisa melambung tinggi saat musim panas.

Ikan salmon

Dekat dengan penginapan, terdapat Alpine Springs and SPA yang menawarkan banyak kegiatan untuk bersenang-senang dengan salju. Manajer Bisnis dan Penjualan Alpine Spring Cathy Hemsworth mengungkapkan, pengunjung yang datang bisa menikmati tubing, bermain ski, berendam di kolam panas, dan spa.

Cathy mengatakan, tempatnya memiliki area yang dipenuhi es buatan manusia dan alami sepanjang 150 meter dengan kemiringan 50 meter yang digunakan untuk tubing. Tubing menjadi salah satu kegiatan favorit di Alpine Springs. Tubing adalah permainan meluncur di es dengan posisi duduk di atas ban karet (seperti pelampung). Tentu saja, Alpine Springs menyediakan perlengkapan keselamatan seperti helm.

Persinggahan selanjutnya, melihat peternakan ikan salmon tertinggi di dunia. Mount Cook Alpine Salmon merupakan peternakan ikan dengan pemandangan menakjubkan yang berada di ketinggian 600 mdpl. Wilayah peternakan ikan jenis Mount Cook King Salmon itu bebas dari polusi udara dan menggunakan lelehan salju yang mengalir dari Pegunungan Alpine di Selandia Baru.

Aoraki Mount Cook

Setelah puas menikmati pemandangan Danau Tekapo, rombongan melanjutkan perjalanan ke Aoraki Mount Cook. Perjalanan ditempuh sekitar dua jam. Di sinilah puncak perjalanan selama empat hari di Christchurch.

Aoraki Mount Cook mengingatkan kami kepada pendaki gunung asal Selandia Baru, Mark J Inglis, yang kehilangan kedua kakinya ketika mendaki Mount Cook di ketinggian 3.745 meter. Dengan dua kaki palsunya, Inglis dapat menaklukkan Everest dengan ketinggian 8.882 mdpl. Foto dan buku Inglis terpampang di museum di Hotel Hermitage, The Sir Edmund Hillary Alpine Centre.

Memasuki wilayah Aoraki Mount Cook, keangkuhan gunung es yang berselimutkan awan langsung terlihat. Sore itu, indahnya pemandangan gunung tidak dapat dinikmati dari Hotel Hermitage, tempat kami menginap. Pemandu wisata kami dari Tourism New Zealand, Melanie Wong, pun ragu-ragu apakah kami bisa menikmati pemandangan Mount Cook dari atas pesawat ski keesokan harinya.

Padahal, sayang sekali kalau jadwal terbang di atas gunung es yang dinanti-nantikan sejak awal perjalanan akan dibatalkan. Malam itu kami istirahat sambil berharap cuaca akan berubah. Benar saja, ketika mata terbuka dan membuka jendela kamar, langsung tampak pemandangan gunung es yang menakjubkan. Wah, betapa senangnya kami ketika diberi tahu jadwal terbang akan tetap dilanjutkan.

Pilot Mike Williams memberikan sedikit pengarahan sebelum terbang. Satu pesawat ski bisa membawa delapan penumpang. Kami pun berpegangan erat ketika pesawat mulai bergerak, naik perlahan dan menyusuri Tasman Glacier.

Wooww… pemandangan yang sangat indah. Pegunungan es yang berwarna putih serta aliran es yang membeku di Aoraki Mount Cook National Park membuat kami terpana. Setelah sampai di dataran es yang luas, Williams mengatakan, pesawat akan mendarat di atas es dan akan terjadi sedikit guncangan. Aduh, agak mendebarkan juga ketika kaki pesawat mendarat di es.

Ketika pintu pesawat terbuka, brrr… dingin sekali rasanya. ”Ini suhunya minus 10 derajat celsius, hati-hati dengan langkahmu,” kata Williams.

Benar sekali apa yang dikatakan Williams. Ketika kaki menginjak es, dingin sekali rasanya. Salah satu anggota rombongan yang mengenakan sepatu tanpa hak hanya tahan berjalan dua langkah dari pesawat. Setelah itu dia langsung meminta kembali ke dalam pesawat.

Mount Cook Ski Planes menawarkan petualangan di atas pegunungan Mount Cook dengan pesawat ski atau helikopter. Untuk menyewa pesawat, harganya berkisar 255- 495 NZD (Rp 1,78 juta-Rp 3,465 juta) per orang. Harga yang ditawarkan tergantung pada perjalanan yang dipilih pengunjung, apakah akan mendarat di hamparan es atau tidak.

Salah satu pegawai di Mount Cook Ski Plane, Stacey, mengungkapkan, penyewaan pesawat pada musim dingin lebih sepi dibandingkan musim panas. ”Saat musim dingin, sehari hanya sekitar 10 orang. Kalau musim panas akan lebih ramai, bisa sampai 200 orang. Kalau musim panas, pemandangan lebih bagus, lebih hijau,” katanya.

Pengalaman berkeliling di atas Tasman Glacier ini mungkin menjadi yang paling berkesan dari rangkaian perjalanan di Christchurch. Sebelum kembali ke Indonesia, rombongan juga sempat melewati Christchurch yang baru saja terkena gempa bumi. Beberapa bangunan masih dibiarkan hancur akibat gempa bumi berkekuatan 6,3 skala Richter pada Februari 2011. Bahkan, Gereja Katedral Christchurch yang mengalami kerusakan parah tidak digunakan lagi.

Perjalanan selama empat hari menjadikan Christchurch tak terlupakan. Musim dingin yang membuat warna putih di kawasan pegunungan tidak menghilangkan keindahannya. (SUSIE BERINDRA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com