Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tragedi Khadafy, Pelajaran Penting bagi RI

Kompas.com - 28/08/2011, 02:21 WIB

Perkembangan Libya mengalir begitu cepat sejak Sabtu (20/8). Perdana Menteri Inggris David Cameron memperpendek liburan untuk mengeluarkan pernyataan tajam: Moammar Khadafy pergilah. Inggris dan kemudian juga Perancis sedang mengincar keuntungan dari biaya yang dikeluarkannya untuk menggempur Moammar Khadafy selama beberapa bulan.

Keputusan Cameron melancarkan campur tangan militer dengan alasan melindungi penduduk sipil. Ini merupakan perjudian terbesar setelah dia berkuasa. Dia tampaknya mengikuti Tony Blair ketika mengekor AS soal Saddam Hussein.

Kali ini Cameron menggunakan payung resolusi PBB zona larangan terbang untuk melancarkan gempuran ke arah posisi-posisi militer Libya. Barangkali ini bisa disebut salah satu episode di mana negara Barat dengan dalih resolusi PBB dan keamanan sipil menggempur Libya.

Inggris seperti mendapatkan mandat untuk melindungi sipil dari kejahatan pendukung Moammar Khadafy. Inggris sedang mengincar sejumlah ladang minyak yang diperolehnya ketika Khadafy mulai berbaikan dengan Barat. Ketika Blair berkuasa, sejumlah proyek sudah di tangan BP sehingga memberikan keuntungan besar bagi pemerintahan di London.

Shell juga merupakan perusahaan Barat pertama yang masuk lagi ke Libya melalui kesepakatan tahun 2004. Tony Blair mengukuhkan kesepakatan yang menggarisbawahi kemitraan strategis jangka panjang antara perusahaan minyak Libya dan Shell.

Raksasa minyak Total

Hal yang sama dilakukan Presiden Nicolas Sarkozy yang ikut mendesak resolusi bulan Maret yang memberikan wewenang NATO campur tangan di Libya. Perancis adalah negara pertama yang mengakui secara resmi Dewan Transisi Nasional, payung para pemberontak, yang dipimpin Abdul Jalil, mantan Menteri Kehakiman Libya.

Perusahaan minyak Perancis, Total, sudah menikmati sejumlah ladang minyak ketika Khadafy berkunjung ke Paris tahun 2007. Saat itu, dicapai sejumlah kesepakatan untuk mengamankan 10 persen impor minyak dari Libya. Tripoli juga pernah berjanji akan membeli sejumlah senjata dari Perancis.

Perancis juga ingin mengamankan pesanan pesawat dari pemerintahan Libya ketika terjadi perubahan rezim. Tahun 2007, Libya berjanji membeli 21 pesawat Airbus dan juga kerja sama di bidang listrik tenaga nuklir. Nilai total kesepakatan itu mencapai 7,2 miliar euro atau sekitar Rp 101 triliun. Kesepakatan bisnis ini dikritik keras banyak kalangan meskipun sudah lama Perancis menentang rezim Khadafy. Dan, kedatangan Khadafy ke Perancis pun cukup spektakuler karena ini merupakan yang pertama sejak 1973.

Libya adalah minyak dan gas. Perancis, Inggris, dan Italia ingin mengambil porsi karena di Irak diambil AS. Dengan cadangan minyak 46,5 miliar barrel, Libya merupakan sumber rezeki. Khadafy dianggap tidak memberi keuntungan bagi Barat. Maka, dengan payung resolusi PBB kekayaan Libya dimanfaatkan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com