Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bebas dari Sekapan Tentara Khadafy

Kompas.com - 26/08/2011, 12:16 WIB

KOMPAS.com — PRIA bersenjata itu menunjukkan bahwa ia manusia. Sebagian besar orang yang mengawasi lobi Rixos Hotel di Tripoli, Libya, masih muda, lancang, dan berani mati membela Khadafy. Namun seorang pria berusia 50-an tahun, dipersenjatai Kalashnikov, rindu melihat anak-anaknya. Anak-anaknya di luar sana, di suatu tempat di Tripoli. Tembakan dan ledakan meletus di sekitar mereka, katanya.

"Saya juga benar-benar kangen keluarga saya," kata produser CNN, Jomana Karadsheh, kepada pria itu dalam bahasa Arab. "Saya sunguh ingin pulang dan bertemu keluarga saya. Mereka khawatir tentang saya."

Air mata menggenang di mata pria bersenjata itu. Para pemberontak telah mengambil alih Tripoli. Dan pria ini, yang hanya tahu rezim Khadafy selama 42 tahun, ingin pulang juga. Ketika itulah, Karadsheh tahu bahwa dia punya peluang. Jika 30-an wartawan yang ditahan selama lima hari di dalam hotel bintang lima itu punya kesempatan bebas, sekaranglah waktunya.

Karadsheh, pada umurnya yang baru 29 tahun, sudah punya pengalaman banyak di daerah konflik. Perempuan asal Jordania yang fasih berbahasa Arab dan Inggris itu seorang wartawan CNN biro Baghdad dan dikenal karena profesionalisme, ketekunan, dan daya persuasifnya. Koleganya bilang, "Jika Anda menghadapi masalah, Anda menginginkan dia di sisi Anda."

Dia tiba di  Libya beberapa minggu sebelumnya. Ia bertemu dengan koresponden internasional senior CNN, Matthew Chance. Karadsheh menjalin hubungan dengan para pejabat pemerintah, pengawas media, dan pihak keamanan hotel, termasuk pria bersenjata itu. Karadsheh dan seorang juru kamera berbahasa Arab dari jaringan media lain tengah bernegosiasi untuk mengamankan pembebasan para wartawan.

Telepon ucapkan perpisahan

Bebera hari sebelumnya, para wartawan dari berbagai organisasi berita, termasuk BBC, Reuters, Fox, dan CCTV China, menyadari bahwa mereka telah menjadi tawanan rezim Khadafy yang tengah sekarat. Para pejabat pemerintah dan pengawas yang memantau wartawan telah meninggalkan hotel pada 21 Agustus. Namun, sekitar 15 orang bersenjata yang setia kepada rezim tetap tinggal, berkeliaran di lorong-lorong dengan senapan serbu Rusia. Mereka mengatakan, para wartawan tidak boleh meninggalkan hotel.

Sebagian besar loyalis Khadafy itu mudah marah, berusia muda, dan sembrono. Mereka menghiasi senjatanya dengan bendera hijau rezim Khadafy. Untuk menghindari kontak dengan sekelompok orang yang rentan itu, para wartawan dipindahkan ke lantai atas. Seorang koki hotel awalnya melayani kelompok itu.

Hari Senin (22/8/2011), ketegangan antara wartawan dan penculik meningkat. Tembakan meletus di luar hotel, asap terlihat datang dari arah kompleks Khadafy yang tidak jauh dari hotel tersebut. Para pria bersenjata itu marah. "Mata-mata NATO," teriak mereka. "Ada mata-mata di antara wartawan!"

Mereka berjalan di tengah-tengah wartawan, senjata terhunus. Mereka marah, getir. "Itu bisa berubah jadi sangat mengerikan bagi kami," pikir Chance. Para wartawan berusaha untuk tidak memusuhi. "Kami semua tegang," kenangnya.

Sikap agresif para pria bersenjata itu memicu paranoia tentang menjadi sandera, menjadi tahanan, dieksekusi. "Kami sadari, jika mereka telah diberi perintah untuk menjadikan kami tahanan atau mengeksekusi kami, tidak ada yang bisa kami lakukan."

Kondisi semacam itu serta kesadaran bahwa nasib mereka tergantung pada para pria bersenjata menimbulkan pikiran tentang hal terburuk: mereka tidak akan bisa keluar hidup-hidup.

Chance lalu menelepon ibu dan istrinya untuk memberitahu mereka apa yang harus dilakukan dengan jenazahnya nanti. Istrinya meminta putrinya yang berumur lima tahun ikut bicara di telepon. Jika ini salam perpisahan, anak satu-satunya perlu mendengar suara sang ayah. Koresponden kawakan yang telah meliput konflik di Balkan, Chechnya, Irak, dan Afganistan itu tidak memberitahu gadis kecilnya tentang bahaya yang dihadapinya. Dia justru berbicara tentang tahun ajaran baru.

"Kamu mulai bersekolah dua minggu lagi," katanya. "Berjanjilah kepadaku bahwa kamu akan belajar rajin di sekolah." "Ya, Papa, aku janji," jawab putrinya. "Jadi anak baik untuk saya dan mamamu," katanya lagi. "Papa, aku akan lakukan itu."

Hatinya hancur. Ia berada 2.000 mil dari rumahnya di Moskwa. Dia ingin satu hal saja: melihat putrinya pada hari pertama masuk sekolah. Dia tidak yakin apakah keinginannya itu akan terwujud.

Pertempuran kian intensif di luar. Para sniper menembak hotel itu, menghancurkan jendela dan membuat saraf tegang. Chance dan para wartawan lain menghabiskan 36 jam telungkup di lantai dengan sedikit makanan atau air.

Dengan pemadaman listrik yang sering, sulit untuk mengikuti perkembangan di Tripoli, di luar tembok hotel itu. Namun, pekerjaan membuat Chance tetap fokus. Dia berkicau via Twitter dengan menggunakan smartphone, telepon satelit, atau menelepon teman-teman dan mendiktekan pemikirannya.

Pada satu titik, hari Selasa, ia melongok melalui balkon yang menghadap ke halaman dalam hotel yang diawasi para pria bersenjata. "Saya rasa Anda senang sekarang bahwa orang Libya saling membunuh," teriak seseorang.

Berhubungan sebagai manusia

Suara tembakan artileri menembus keheningan pada Rabu pagi. Wartawan terjaga. Sekitar pukul 06.00, semua pria bersenjata di hotel, kecuali yang lebih tua itu, meninggalkan hotel. Karadsheh dan juru kamera berbahasa Arab itu mendekatinya. Sehari sebelumnya, Karadsheh mendengar dia mengatakan kepada para pemuda bersenjata itu untuk tetap tenang dan baik terhadap wartawan. "Kita ingin mereka kembali ke negara mereka dan mengatakan hal-hal yang baik tentang kita, bahwa betapa rakyat Libya adalah orang-orang yang berani."

Karadsheh dan juru kamera itu lalu menceritakan apa yang mereka tahu, yaitu rezim Khadafy telah tumbang. Ketika seorang pria yang menyebut dirinya tentara memasuki hotel, pria bersenjata itu bertanya tentang situasi di luar. "Kamu berada di luar sana. Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi. Apakah seperti yang mereka katakan kepada kita?" "Ya," jawab tentara itu. Para pemberontak memang memegang kendali. Pemerintahan Khadafy di Libya telah berakhir.

Karadsheh menangkap momen itu dengan emosional. Keluarganya merindukannya, katanya kepada pria itu, seperti juga keluarga 30-an wartawan yang lain. "Pikirkan anak-anak Anda," kata Karadsheh. "Anda di sini sendirian, biarkan kami pergi."

Pada awalnya, pria itu membela Khadafy dengan mengatakan, Khadafy telah membawa demokrasi ke Libya. Bangsa Libya berkembang di bawah kepemimpinannya. Sebelumnya, ia bilang kepada Karadsheh bahwa ia melindungi wartawan. Ia ingin anak-anaknya tahu ia akan berjuang sampai akhir.

Karadsheh dan juru kamera itu mengingatkannya, semua pejabat senior—dan sekarang bahkan rekan-rekan mudanya—telah meninggalkan Khadafy. Sudah waktunya untuk menyerah. "Perlahan-lahan, ia mulai berubah." Juru kamera itu perlahan-lahan melucuti senjata tentara dan pria bersenjata tersebut. Tanpa senjata, pria itu memandang para wartawan dan berkata, "Anda bisa pergi sekarang."

Karadsheh segera bernegosiasi dengan Komite Palang Merah Internasional untuk membawa mobil ke hotel. Sebelum pergi, dia menyampaikan selamat tinggal kepada pria itu. "Jomana, keluar dari sini," katanya. "Pulanglah ke rumah. Libya sudah berakhir. Akan ada pertumpahan darah selama bertahun-tahun ke depan."

Chance menyaksikan dari dekat saat rekannya berbicara dengan pria itu. "Saya melihat transformasi ini. Orang-orang ini tadinya pendukung keras Khadafy, lalu menyadari bahwa rezim Khadafy sudah menjadi sejarah masa lalu. Itu adalah transisi yang luar biasa untuk disaksikan. Saya pikir itu bagian paling mengharukan dari krisis ini secara keseluruhan."

Karadsheh mengatakan, "Pada akhirnya, kita semua manusia. Dan, itulah yang terjadi, berhubungan dengan dia sebagai manusia."

Ketika keluar dari Rixos, para wartawan khawatir akan penembak jitu. Namun, ternyata tidak ada. Mobil BBC dan Komite Palang Merah Internasional berhenti di hotel. Mereka menumpuk di dalam. "Krisis Rixos berakhir. Semua wartawan keluar!" kata Chance di Twitter. Di dalam mobil, ia menelepon CNN. Ia menggambarkan akhir dari cobaan mereka. Karadsheh duduk di sampingnya, air mata mengalir di wajahnya. "Kami tidak akan di sini (bebas) jika bukan karena dia," kata Chance kemudian. Namun, Karadsheh memuji sang juru kamera. "Itu usaha tim."

Putri Chance akan segera melihat ayahnya. Ia berencana pulang pada hari pertama putrinya masuk sekolah, 5 September mendatang. Akan tetapi, pertama-tama dia berhenti di Lapangan Martir, nama baru untuk Lapangan Hijau, di mana penduduk Tripoli yang bergembira mengguyurnya dengan bunga. "Mereka tidak merayakan kebebasan saya," katanya. "Mereka merayakan kebebasan Libya."

Karadsheh terkejut dengan adegan yang berbeda dari minggu sebelumnya, ketika Tripoli masih dipenuhi wajah-wajah murung. Hari ini, ia mencatat, semua orang tersenyum. Foto-foto Khadafy telah dirobohkan. "Saya keluar dan melihat Libya yang baru," katanya. Hari Kamis, sehari setelah dibebaskan, dia kembali ke hotel untuk mengumpulkan barang-barang pribadinya. "Saya sedikit panik ketika kami mendekat," katanya. "Tapi, hal pertama yang saya lihat adalah bendera pemberontak tergantung di Rixos. Saya lalu merasa nyaman."

Segera, ia kembali ke mobil, menyeberangi perbatasan menuju Tunisia, menuju rumah. Seperti yang dia katakan kepada pria bersenjata itu, dia rindu melihat orang-orang tercintanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com