Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seruan Perdamaian Sepak Bola Palestina

Kompas.com - 25/08/2011, 06:24 WIB

DI tengah desingan peluru, ledakan bom, kehancuran infrastruktur, dan situasi politik yang tidak menentu di Palestina, sepak bola menemukan jalan setapak dan berliku untuk bertahan. Kultur sepak bola terus tumbuh subur seperti ranting zaitun, simbol kehidupan, perdamaian, dan kesuburan bagi warga Palestina.

”Ya, ya, kadang kala, saat pemain berlatih atau bertanding, ada roket nyasar, tembak-menembak,” ujar pelatih sementara tim nasional Palestina, Abdel- Nasser Barakat, di Solo, Jawa Tengah, awal pekan ini.

Menurut dia, bukan hal menyenangkan mengetahui seseorang terluka, seseorang terbunuh, teman satu tim tewas. ”Namun, kami harus terus menjalani kehidupan. Anda harus jalan terus, tidak bisa berhenti dan menyerah,” ujar Barakat.

Geliat sepak bola di Palestina terpuruk pada titik paling rendah saat pecah perang pembebasan Palestina dari Israel, gerakan intifada pertama tahun 1987. Anak-anak muda tidak bisa bergabung dengan klub sepak bola dan menjadi milisi pelempar batu ke tentara Israel.

Sepak bola kembali menggeliat pada masa gencatan senjata di era 1990-an. Situasi menjadi rumit setelah pecah intifada kedua tahun 2000. Israel menghancurkan infrastruktur di wilayah Palestina. Stadion Utama Faisal al-Husseini di Ram, di dekat Jerusalem, pun menjadi lahan parkir tank-tank Israel.

Latihan sepak bola macet dan tim nasional menggelar pemusatan latihan di Ismailia, Mesir. Di Ismailia, para pemain dari Gaza dan Tepi Barat bisa kembali berlatih bersama.

Laga kandang mereka digelar di Doha, Qatar, karena alasan keamanan. Palestina baru bisa bermain di tanah tumpah darah mereka pada laga Pra-Olimpiade melawan Thailand, 9 Maret 2011. Pertandingan bersejarah di Stadion Faisal al-Husseini itu dipadati sekitar 17.000 suporter.

Pertandingan resmi FIFA di Palestina juga baru digelar 3 Juli 2011 saat menjamu Afganistan pada laga kedua kualifikasi putaran pertama Piala Dunia.

Barakat mengakui, sangat berat mengembangkan sepak bola di tengah situasi keamanan dan politik yang belum stabil. Situasi makin sulit karena ada batas pemisah antara Tepi Barat dan Gaza. Perlu izin khusus dari Israel untuk melintasinya.

”Ada empat pemain kami yang tidak bisa berangkat ke sini (Indonesia) karena masalah perizinan. Hal seperti itu sering terjadi,” ujar Barakat.

Palestina baru memiliki kompetisi profesional untuk pertama kali tahun 2010 dengan label Liga Primer Tepi Barat dan diikuti 10 klub. Di Gaza, hingga kini masih berupa turnamen.

Sepak bola di Palestina terus dibangun dan menjadi alat menunjukkan eksistensi sebagai sebuah negara merdeka yang ingin hidup dalam perdamaian. (BBC/ The Guardian/FIFA/ANG)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com