Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Sunan Kalijaga

Kompas.com - 19/08/2011, 03:14 WIB

Ilham Khoiri

Alun-alun Utara di depan Keraton Ngayogyakarta, Sabtu (30/7) malam itu, dipenuhi ribuan orang. Tiduran di atas tikar, duduk di kursi, di atas sepeda motor atau sepeda, bahkan berdiri, mereka menonton pergelaran wayang kulit. Lakonnya, ”Pandhawa Muksa”.

Ketika udara kian dingin pada Minggu dini hari itu, cerita kian menukik pada kehidupan Puntadewa, tokoh Pandhawa dalam epik Mahabharata. Dikisahkan, raja dari Astina itu lama hidup sendirian karena sulit meninggal. Dia menemui Sunan Kalijaga untuk mencari sarana menuju alam baka, yaitu mendengar bacaan Jamus Kalimasada.

”Jamus meniko seratan suci wonten agama kulo, enggih meniko kalimat syahadat (Jamus ini adalah catatan suci dalam agama saya, yaitu kalimat syahadat),” jawab Sunan Kalijaga, sembari melafalkan dua kalimat syahadat (kesaksian akan Allah dan Muhammad sebagai rasul). Konon, begitu mendengar itu, Puntadewa akhirnya meninggal dengan tenang.

Lakon ”Pandhawa Muksa” adalah bagian akhir dari 11 lakon dalam rangkaian pergelaran wayang kulit di Alun-alun Utara Keraton Ngayogyakarta. Semuanya mengangkat cerita yang dipercaya sebagai kreasi Sunan Kalijaga, salah satu Wali Sanga yang berdakwah Islam di tanah Jawa sekitar abad ke-16 Masehi. Umumnya cerita itu carangan alias pengembangan baru dari pakem asli wayang kulit itu.

”Tak ada cerita Jamus Kalimasada dalam lakon asli. Itu kreasi Sunan Kalijaga demi memasukkan napas Islam dalam cerita wayang kulit,” kata Ki Seno Nugroho, dalang dalam pergelaran itu.

Meski dikaitkan dengan ajaran Islam, lakon itu tetap enak ditonton karena mempertahankan unsur-unsur drama. Beberapa tambahan itu justru memberikan nuansa menyegarkan. Lihat saja kemunculan punakawan di tengah lakon—yang juga dipercaya hasil tambahan— yang selalu membuat penonton gergeran (tawa berderai-derai).

Pergelaran wayang tadi menjadi bagian penting dari perhelatan peringatan ”500 Tahun Sunan Kalijaga” di Yogyakarta, 18-31 Juli lalu. Selama 19 hari, masyarakat disuguhi berbagai ekspresi budaya yang bersumber dari gagasan, kreasi, dan kearifan wali yang kerap digambarkan pakai udeng-udeng itu. Ada laku spiritual, tahlilan, pentas seni, diskusi, seminar, suluk, dan semaan Al Quran.

Toleran dan arif

Ada apa dengan Sunan Kalijaga sehingga perlu diperingati saat ini? ”Sunan Kalijaga berperan penting dalam membentuk karakter Islam di Jawa, bahkan Nusantara, yang lentur, toleran, dan penuh kearifan,” kata M Jadul Maula, ketua panitia pengarah kegiatan ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com