Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Media dan Peliputan Terorisme

Kompas.com - 16/08/2011, 02:33 WIB

Dandy Koswaraputra

• Judul: Panduan Jurnalis Meliput Terorisme • Penulis: Hadi Rahman dkk • Penerbit: AJI Jakarta • Cetakan: I, 2011 • Tebal: viii +222 halaman • ISBN:978-979-16381-5-9

Tidak semua peliputan media mengenai terorisme memuaskan publik. Tidak jarang model peliputan terorisme yang diterapkan justru terkesan dangkal, bombastis, dan terjebak pada sekadar perang pernyataan. Dalam kondisi seperti ini, media rawan dimanfaatkan sebagai alat propaganda.

Seorang perwira Kopassus menilai, banyaknya jumlah korban dan besarnya kerusakan akibat aksi teroris di dua hotel mewah di Mumbai, India, 26 November 2008, disebabkan oleh siaran langsung beberapa televisi saat insiden berdarah itu terjadi. Para pengendali teror, yang menurut perwira tersebut berada di Palestina dan Pakistan, memanfaatkan liputan live televisi untuk memantau pergerakan seratus personel pasukan antiteror India yang diterjunkan di kedua hotel berbintang lima itu, Taj Mahal dan Oberoi Hotel, serta pada saat yang sama mengendalikan aksinya melalui tayangan langsung kamera wartawan tersebut. Sedikitnya 101 orang tewas dan lebih dari 300 orang lainnya terluka akibat serangan tersebut. Alih-alih memuaskan penonton, peliputan itu malah merugikan publik dan melanggar kode etik.

Rangkaian cerita serupa terjadi dalam dunia jurnalisme di Indonesia. Tim Aliansi Jurnalis Independen Jakarta mengompilasi pengalaman para jurnalis peliput terorisme di Indonesia dalam sebuah buku Panduan Jurnalis Meliput Terorisme. Buku saku setebal 222 halaman ini mengurai kompleksitas isu-isu terorisme di Indonesia. Lebih dari separuh buku yang terdiri dari tujuh bab ini menyajikan berbagai cerita di balik berita dan beberapa pengalaman wartawan di lapangan yang tidak pernah diungkap di media tempat mereka bekerja. Dari situ, cerita-cerita itu seolah berbicara langsung kepada pembaca tentang rangkaian fakta di balik berita dan menuntun kita untuk untuk mengurai dari mana dan bagaimana konstruksi fakta itu terbentuk.

Pemetaan masalah

Untuk menghindari blunder yang tidak perlu, buku ini mengingatkan wartawan peliput terorisme untuk selalu skeptis dan melakukan riset mendalam atas suatu peristiwa teror. Menurut Hasudungan Sirait, jurnalis peliput terorisme harus memiliki setidaknya dua syarat mendasar: pertama, jurnalis harus memahami hakikat terorisme, dan kedua, jurnalis harus mengenal struktur konflik yang dia liput (hal 66).

Tanpa kedua wawasan mendasar itu akan sulit melahirkan reportase yang kaya dimensi, bernas, mendalam, dan akurat. Untuk mengetahui hakikat dan struktur konflik dalam satu liputan terorisme, wartawan harus melakukan proses analisis konflik. Namun, menurut buku ini, proses analisis konflik sebaiknya didahului dengan proses riset yang mendalam untuk memperoleh basis informasi yang cukup. Tanpa latar belakang informasi yang memadai, semua pisau analisis akan gagal mengungkap realitas yang sebenarnya.

Pada bab 6 dari tujuh bab, buku ini memaparkan sejarah terorisme di Indonesia dan dunia Islam secara global: mulai dari munculnya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia pimpinan Kartosoewirjo pada awal kemerdekaan Indonesia hingga Jemaah Islamiyah pimpinan Abdullah Sungkar dan Abubakar Baasyir. Buku ini menjelaskan struktur organisasi dan karakteristik organisasi terorisme: mulai dari pola rekrutmen, area operasi, struktur organisasi, pendanaan, hingga pola jejaring. Dengan pemaparan tersebut, yang lengkap dengan istilah-istilah khas organisasi itu, buku ini memberikan pemetaan kepada pembaca, khususnya wartawan peliput terorisme, untuk melakukan identifikasi masalah. Sebab, isu-isu terorisme memiliki keterkaitan erat dengan sejarah lahirnya gerakan-gerakan radikal, baik di Indonesia maupun di dunia.

Dengan memahami konstelasi gerakan radikal di Indonesia secara utuh dan memadai, hasil reportase tentang terorisme diharapkan lebih mendalam, jernih, dan akurat, tanpa bias primordial atau ideologi sempit wartawannya. Karena kualitas satu karya jurnalistik sangat erat terkait dengan seberapa dalam sang jurnalis memahami isu yang sedang dia garap dan seberapa terampil dia memosisikan dirinya pada titik moderat terhadap sebuah peristiwa sensitif, seperti terorisme. Jika tidak, persoalan yang sering muncul adalah karya jurnalistik berat sebelah. Kecenderungannya, wartawan lebih dekat kepada polisi sebagai narasumber ketimbang tersangka teroris. Sering kali tersangka teroris merasa menjadi pesakitan di hadapan wartawan sebelum pengadilan sesungguhnya dilaksanakan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com