Dandy Koswaraputra
Seorang perwira Kopassus menilai, banyaknya jumlah korban dan besarnya kerusakan akibat aksi teroris di dua hotel mewah di Mumbai, India, 26 November 2008, disebabkan oleh siaran langsung beberapa televisi saat insiden berdarah itu terjadi. Para pengendali teror, yang menurut perwira tersebut berada di Palestina dan Pakistan, memanfaatkan liputan live
Rangkaian cerita serupa terjadi dalam dunia jurnalisme di Indonesia. Tim Aliansi Jurnalis Independen Jakarta mengompilasi pengalaman para jurnalis peliput terorisme di Indonesia dalam sebuah buku Panduan Jurnalis Meliput Terorisme. Buku saku setebal 222 halaman ini mengurai kompleksitas isu-isu terorisme di Indonesia. Lebih dari separuh buku yang terdiri dari tujuh bab ini menyajikan berbagai cerita di balik berita dan beberapa pengalaman wartawan di lapangan yang tidak pernah diungkap di media tempat mereka bekerja. Dari situ, cerita-cerita itu seolah berbicara langsung kepada pembaca tentang rangkaian fakta di balik berita dan menuntun kita untuk untuk mengurai dari mana dan bagaimana konstruksi fakta itu terbentuk.
Untuk menghindari blunder yang tidak perlu, buku ini mengingatkan wartawan peliput terorisme untuk selalu skeptis dan melakukan riset mendalam atas suatu peristiwa teror. Menurut Hasudungan Sirait, jurnalis peliput terorisme harus memiliki setidaknya dua syarat mendasar: pertama, jurnalis harus memahami hakikat terorisme, dan kedua, jurnalis harus mengenal struktur konflik yang dia liput (hal 66).
Tanpa kedua wawasan mendasar itu akan sulit melahirkan reportase yang kaya dimensi, bernas, mendalam, dan akurat. Untuk mengetahui hakikat dan struktur konflik dalam satu liputan terorisme, wartawan harus melakukan proses analisis konflik. Namun, menurut buku ini, proses analisis konflik sebaiknya didahului dengan proses riset yang mendalam untuk memperoleh basis informasi yang cukup. Tanpa latar belakang informasi yang memadai, semua pisau analisis akan gagal mengungkap realitas yang sebenarnya.
Pada bab 6 dari tujuh bab, buku ini memaparkan sejarah terorisme di Indonesia dan dunia Islam secara global: mulai dari munculnya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia pimpinan Kartosoewirjo pada awal kemerdekaan Indonesia hingga Jemaah Islamiyah pimpinan Abdullah Sungkar dan Abubakar Baasyir. Buku ini menjelaskan struktur organisasi dan karakteristik organisasi terorisme: mulai dari pola rekrutmen, area operasi, struktur organisasi, pendanaan, hingga pola jejaring. Dengan pemaparan tersebut, yang lengkap dengan istilah-istilah khas organisasi itu, buku ini memberikan pemetaan kepada pembaca, khususnya wartawan peliput terorisme, untuk melakukan identifikasi masalah. Sebab, isu-isu terorisme memiliki keterkaitan erat dengan sejarah lahirnya gerakan-gerakan radikal, baik di Indonesia maupun di dunia.
Dengan memahami konstelasi gerakan radikal di Indonesia secara utuh dan memadai, hasil reportase tentang terorisme diharapkan lebih mendalam, jernih, dan akurat, tanpa bias primordial atau ideologi sempit wartawannya. Karena kualitas satu karya jurnalistik sangat erat terkait dengan seberapa dalam sang jurnalis memahami isu yang sedang dia garap dan seberapa terampil dia memosisikan dirinya pada titik moderat terhadap sebuah peristiwa sensitif, seperti terorisme. Jika tidak, persoalan yang sering muncul adalah karya jurnalistik berat sebelah. Kecenderungannya, wartawan lebih dekat kepada polisi sebagai narasumber ketimbang tersangka teroris. Sering kali tersangka teroris merasa menjadi pesakitan di hadapan wartawan sebelum pengadilan sesungguhnya dilaksanakan.