Penegasan Stoltenberg itu disampaikan saat memberikan sambutan dalam misa khusus untuk memperingati para korban
Stoltenberg mengatakan, pengeboman di kompleks gedung pemerintahan di pusat kota Oslo dan penembakan terhadap para peserta kemah musim panas angkatan muda Partai Buruh di Pulau Utoya itu adalah tragedi nasional.
Meski demikian, ia menandaskan, tragedi itu tidak akan membuat Norwegia meninggalkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi selama ini. ”Kita akan tunjukkan demokrasi yang lebih, keterbukaan yang lebih, dan kemanusiaan yang lebih, tetapi tanpa disertai kenaifan,” kata Stoltenberg, yang lolos dari bom di gedung tempat ia berkantor.
Partai Buruh, partai yang dipimpin Stoltenberg, diduga menjadi sasaran serangan karena selama ini mendukung multikulturalisme dan kebijakan imigrasi yang memungkinkan imigran dari berbagai kelompok etnik masuk Norwegia.
Anders Behring Breivik (32), satu-satunya tersangka pelaku dua serangan tersebut, adalah penganut paham ultrakanan yang membenci pandangan multikulturalisme dan arus masuknya imigran dari luar, terutama dari negara-negara berpenduduk Muslim. Breivik pernah menjadi anggota Partai Kemajuan (Framstegspartiet/FrP), yang berhaluan ultrakanan dan pengkritik kebijakan pro-imigran, serta aktif sebagai anggota forum diskusi gerakan supremasi kulit putih Neo-Nazi di internet.
”Dia ingin merusak Partai Buruh dan menghentikan perekrutan (anggota baru) partai itu dengan cara seburuk mungkin. Ia menganggap anggota partai itu sebagai Marxis,” tutur pengacara Breivik, Geir Lippestad, kepada surat kabar Verdens Gang.
Breivik datang ke Pulau Utoya sekitar dua jam setelah ia meledakkan bom di Oslo. Di pulau itu, sekitar 600 anggota angkatan muda Partai Buruh sedang mengikuti kaderisasi partai.
Breivik menyamar sebagai
Brit Aanes (42), pendeta yang turut hadir dalam misa di Katedral Oslo, mengatakan, kejadian ini mengingatkan betapa rumitnya isu multikulturalisme. ”Dari satu sisi, ada bagusnya pelaku bukan dari kelompok teroris Muslim. Tetapi, ini lebih menakutkan karena menunjukkan betapa rumitnya urusan imigrasi dan interaksi antar-agama ini,” katanya.
Pengamat mempertanyakan apakah aparat keamanan Norwegia telah kecolongan karena terlalu sibuk mencegah serangan dari jaringan Al Qaeda sehingga meremehkan ancaman dari dalam negeri. ”Meski ancaman utama terhadap masyarakat demokratis di dunia ini masih berasal dari (kelompok) ekstremis Islam, peristiwa mengerikan di Norwegia menjadi peringatan bahwa ekstremisme kulit putih ultrakanan juga menjadi ancaman besar, dan kemungkinan akan bertambah besar,” kata James Brandon dari lembaga pemikir Quilliam dari London. (AP/AFP/Reuters/DHF)