Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dunia Akui Sudan Selatan

Kompas.com - 11/07/2011, 04:08 WIB

Juba, Minggu - Komunitas dunia internasional berlomba-lomba memberi pengakuan kepada Sudan Selatan, negara termuda di dunia yang merayakan kemerdekaan mereka, Sabtu (9/7). Setelah Amerika Serikat dan Inggris, menyusul China, Rusia, dan Israel menyatakan dukungan mereka kepada negara kaya minyak ini.

Dari Beijing, Presiden China Hu Jintao mengucapkan selamat atas kemerdekaan Sudan Selatan dan menjanjikan ikatan yang kuat di antara kedua negara. China langsung menyatakan dukungan untuk memperbarui akses ke suplai minyak Sudan Selatan.

China adalah pembeli utama minyak mentah dari Sudan.

Pemerintah China sejak lama memiliki ikatan kuat dengan Pemerintah Sudan di Khartoum. Namun, mereka juga menginginkan hubungan baik dengan Sudan Selatan, yang menguasai 75 persen cadangan minyak Sudan.

Dalam pernyataan yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri China, Hu Jintao mengatakan, China ingin menjalin hubungan persahabatan jangka panjang dan kerja sama yang stabil dengan Sudan Selatan untuk keuntungan rakyat kedua negara.

Di Juba, ibu kota Sudan Selatan, utusan khusus Presiden Rusia untuk Afrika, Mikhail Margelov, mengatakan, Rusia ingin membangun ikatan ekonomi yang kuat dengan negara baru itu. Margelov, yang mewakili Presiden Dmitry Medvedev, mengatakan, Sudan Selatan menghadapi ”tantangan luar biasa” untuk membangun infrastruktur, menyusun institusi pemerintahan, membangun angkatan bersenjata, serta mengembangkan sektor komunikasi dan transportasi.

”Faktanya, mereka harus membangun dari reruntuhan. Kami ingin memanfaatkan peluang ini dan menemukan tempat kami dalam perekonomian Sudan Selatan secepat mungkin,” ujar Margelov.

Bantuan ekonomi untuk Sudan Selatan juga ditawarkan Israel setelah pengakuan resmi yang disampaikan Perdana Menteri

Israel Benjamin Netanyahu. ”Saya umumkan di sini, Israel mengakui berdirinya Sudan Selatan,” ujar Netanyahu dalam sidang kabinet Israel.

”Kami berharap mereka sukses. Negara itu mencari kedamaian, dan kami gembira bekerja sama untuk menjamin pembangunan dan kemakmuran negeri itu,” ujar Netanyahu. Israel selama ini menampung ribuan pengungsi Sudan dan pekerja migran asal Sudan.

Sudan Selatan, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen dan penganut kepercayaan tradisional Afrika, mendeklarasikan kemerdekaan mereka seiring referendum pada Januari 2011. Saat itu, 99 persen penduduk ingin memisahkan diri dari Sudan, yang mayoritas beragama Islam dan lebih dekat ke dunia Arab.

Dua negara itu sebelumnya menjalani perang selama lima dekade, yang baru berakhir setelah penandatanganan perjanjian damai tahun 2005.

Masa depan

Setelah perayaan kemerdekaan berakhir, penduduk Juba bergotong royong membersihkan sampah sisa perayaan. Mereka kemudian berkumpul untuk berdoa bagi masa depan negeri itu. Gereja-gereja di Juba dipenuhi warga untuk bersyukur atas kemerdekaan.

”Ini hari yang unik, saya tak yakin hari ini akan datang tanpa utara dan selatan kembali berperang. Hari ini kami berdoa untuk persatuan, untuk akhir dari kesukuan dan pemerintah yang korupsi,” ujar Gabriel Kiir, yang berteduh di bawah pohon di luar gereja yang penuh sesak.

Di Alun-alun Kebebasan, lokasi upacara sehari sebelumnya, sukarelawan mengumpulkan sampah. ”Ini pekerjaan besar, tetapi kami ingin membuat ibu kota kami terlihat indah,” ujar John Goi Deng, koordinator pemuda, mengomentari ribuan bendera kertas dan botol plastik yang bertebaran di lapangan.

”Ini awal dari negeri yang baru. Pertama, Anda harus membersihkan, baru setelah itu Anda mulai membangun,” kata Deng.

Tantangan berat harus dihadapi salah satu negara termiskin di dunia itu setelah perang berkepanjangan. ”Perayaan kemerdekaan diwarnai kesulitan yang dihadapi di utara dan selatan. Dalam Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan PBB, Sudan berada di urutan ke-154 dari 169 negara. Sudan Selatan malah akan mulai membangun dari peringkat lebih rendah,” ujar Zach Vertin, analis Sudan dari International Crisis Group yang bermarkas di Brussels, Belgia.

Selain infrastruktur yang hancur, kondisi Sudan Selatan juga diperparah kekerasan berdarah di perbatasan. Tahun ini, konflik itu menyebabkan 1.800 orang tewas. Korupsi di pemerintahan dan pelanggaran hak asasi manusia juga menjadi masalah utama. (afp/ap/reuters/was)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com