Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024

Dunia Akui Sudan Selatan

Kompas.com - 11/07/2011, 04:08 WIB
Editor

Sudan Selatan, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen dan penganut kepercayaan tradisional Afrika, mendeklarasikan kemerdekaan mereka seiring referendum pada Januari 2011. Saat itu, 99 persen penduduk ingin memisahkan diri dari Sudan, yang mayoritas beragama Islam dan lebih dekat ke dunia Arab.

Dua negara itu sebelumnya menjalani perang selama lima dekade, yang baru berakhir setelah penandatanganan perjanjian damai tahun 2005.

Masa depan

Setelah perayaan kemerdekaan berakhir, penduduk Juba bergotong royong membersihkan sampah sisa perayaan. Mereka kemudian berkumpul untuk berdoa bagi masa depan negeri itu. Gereja-gereja di Juba dipenuhi warga untuk bersyukur atas kemerdekaan.

”Ini hari yang unik, saya tak yakin hari ini akan datang tanpa utara dan selatan kembali berperang. Hari ini kami berdoa untuk persatuan, untuk akhir dari kesukuan dan pemerintah yang korupsi,” ujar Gabriel Kiir, yang berteduh di bawah pohon di luar gereja yang penuh sesak.

Di Alun-alun Kebebasan, lokasi upacara sehari sebelumnya, sukarelawan mengumpulkan sampah. ”Ini pekerjaan besar, tetapi kami ingin membuat ibu kota kami terlihat indah,” ujar John Goi Deng, koordinator pemuda, mengomentari ribuan bendera kertas dan botol plastik yang bertebaran di lapangan.

”Ini awal dari negeri yang baru. Pertama, Anda harus membersihkan, baru setelah itu Anda mulai membangun,” kata Deng.

Tantangan berat harus dihadapi salah satu negara termiskin di dunia itu setelah perang berkepanjangan. ”Perayaan kemerdekaan diwarnai kesulitan yang dihadapi di utara dan selatan. Dalam Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan PBB, Sudan berada di urutan ke-154 dari 169 negara. Sudan Selatan malah akan mulai membangun dari peringkat lebih rendah,” ujar Zach Vertin, analis Sudan dari International Crisis Group yang bermarkas di Brussels, Belgia.

Selain infrastruktur yang hancur, kondisi Sudan Selatan juga diperparah kekerasan berdarah di perbatasan. Tahun ini, konflik itu menyebabkan 1.800 orang tewas. Korupsi di pemerintahan dan pelanggaran hak asasi manusia juga menjadi masalah utama. (afp/ap/reuters/was)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke