Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saatnya Berbenah!

Kompas.com - 23/06/2011, 03:32 WIB

Pemerintah Australia secara mengejutkan menghentikan ekspor sapi bakalan ke Indonesia terhitung sejak 8 Juni 2011. Hal ini terkait kasus pemotongan sapi impor eks Australia, yang tidak memenuhi kaidah kesejahteraan hewan di Indonesia.

Ada yang senang, ada pula yang kecewa. Ada pihak yang ingin memanfaatkan situasi untuk mengeruk keuntungan, baik dengan mendorong impor daging sebanyak-banyaknya maupun mengarahkan pemotongan sapi Australia ke rumah pemotongan hewan tertentu.

Ada juga yang ingin membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya sapi, daging, dan jeroan impor tanpa memperhitungkan risiko penularan penyakit hewan menular, seperti sapi gila serta penyakit mulut dan kuku.

Di luar kelompok-kelompok di atas, ada kelompok lain yang merasa prihatin karena ini akan menjadi awal kehancuran peternakan sapi dalam negeri. Dengan penghentian ekspor, dalam jangka panjang terjadi pengurasan populasi sapi lokal. Dampaknya, kebutuhan daging sapi Indonesia 100 persen bisa bergantung pada negara lain.

Menariknya, dari semua kelompok yang berbeda cara pandang itu, semua bisa mengatakan keputusan Pemerintah Australia perlu diambil hikmahnya. Hikmah untuk siapa?

Masalah dalam peternakan sapi nasional tak lepas dari kegagalan pemerintah dalam mendorong bangkitnya peternakan sapi dalam negeri.

Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia Teguh Boediyana secara tegas, bahkan, mengatakan, kegagalan pembangunan peternakan sapi lokal akibat berbagai kebijakan menghambat yang diciptakan sendiri oleh pemerintah.

Teguh mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, yang seharusnya menjadi penggerak utama pembangunan peternakan, dalam kebijakannya semakin menjerumuskan peternakan sapi lokal. Fenomena ini dapat dilihat dalam dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Kehendak politik pemerintah dalam membangun peternakan sapi lokal, yang pada era Orde Baru berkumandang melalui Ga-UNG Lampung, tidak lagi terdengar. Ga-UNG Lampung menempatkan peternakan rakyat sebagai tulang pungg-UNG, impor sapi bakalan sebagai penduku-UNG dan impor daging sebagai penyamb-UNG.

Ketua Dewan Daging Sapi Nasional Suhadji mengatakan, melalui Ga-UNG Lampung, yang merupakan hasil kesepakatan para pemangku kepentingan dan pemerintah tahun 1995, peternakan sapi lokal menempati posisi utama. Pembangunan peternakan sapi lokal mendapat prioritas.

Dengan berpegang kehendak politik itu, kebijakan importasi Orde Baru disusun. Hasilnya, prioritas pemenuhan daging sapi dari sapi lokal. Rakyat didorong memelihara sapi dengan berbagai bentuk insentif.

Kebijakan impor mempertimbangkan aspek penyerapan tenaga kerja dan perolehan nilai tambah di mana impor sapi bakalan diprioritaskan dan mencapai 17 persen, adapun impor daging hanya 5 persen.

Apa yang terjadi pada pemerintah sekarang? Impor jeroan dibuka, impor sapi bakalan langsung diperdagangkan tanpa penggemukan. Tahun 2010, impor daging dan jeroan 120.000 ton. Dampaknya harga ternak sapi lokal hancur, masyarakat tak lagi mau memelihara sapi. Saatnya pemerintah segera berbenah. (HERMAS E PRABOWO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com