Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mayoritas Warga Tolak Energi Nuklir

Kompas.com - 15/06/2011, 02:47 WIB

Tokyo, Selasa - Mayoritas peserta jajak pendapat, 74 persen, di Jepang menolak energi nuklir. Mereka menginginkan negara itu agar secara bertahap tidak lagi bergantung pada nuklir, tetapi pada masa depan Jepang harus lebih mengandalkan energi alam, seperti angin dan tenaga surya.

Jajak pendapat dilakukan harian Asahi Shimbun, dan hasilnya dirilis media cetak terdepan Jepang itu pada Selasa (14/6). Reaksi itu menjadi sinyal terbaru dari kekhawatiran publik tentang atomic safety kala negara tengah berjuang mengatasi krisis nuklir terburuk dalam 25 tahun ini.

Isu keselamatan atom mengemuka tidak hanya di Jepang, tetapi juga di negara lain yang mengandalkan energi nuklir, seperti Italia dan Perancis. Sejak bocornya reaktor nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daichii pascagempa dan tsunami, 11 Maret lalu, sudah belasan ribu orang mengungsi dari sekitar PLTN.

Asahi menyampaikan, dalam jajak pendapat akhir pekan lalu, ada 51 persen responden setuju reaktor nuklir PLTN ditutup dahulu untuk penyelidikan dan pengkajian yang lebih cermat dan ilmiah. PLTN baru boleh beroperasi lagi jika pemerintah sanggup menjamin standar-standar operasional yang lebih aman dan nyaman.

Ada 35 persen responden berseberangan dengan suara mayoritas tersebut. Sekitar 14 persen menentang pengurangan secara bertahap. Sekitar 64 persen pemilih percaya bahwa energi alam, seperti angin dan tenaga surya, dapat menggantikan nuklir pada masa datang. Pergantian secara bertahap harus dimulai dari sekarang, tetapi 24 persen mengatakan tidak berpikir seperti itu.

Survei itu hampir bersamaan dengan referendum di Italia, Minggu (12/4). Sekitar 95 persen pemilih setuju agar nuklir tidak digunakan lagi di negara rawan gempa itu. Tiga bulan setelah gempa dan tsunami, para pekerja masih mencoba untuk menstabilkan reaktor di PLTN Fukushima Daichii yang dikelola Tokyo Electric Power Co (Tepco).

Pejabat Departemen Perdagangan Jepang mengatakan, Jepang memiliki 54 reaktor nuklir. Semuanya mungkin akan ditutup pada April 2012 jika masyarakat Jepang keberatan untuk mengoperasikan pembangkit karena terkait masalah keamanan.

Para ahli mengatakan, biaya ekonomi terlalu tinggi untuk memutuskan semua sambungan dan instalasi di semua pembangkit. Sebelum gempa, energi nuklir memasok sekitar 30 persen dari kebutuhan listrik Jepang.

Perdana Menteri Jepang Naoto Kan sudah kehilangan popularitas di kalangan publik negaranya karena lamban mengatasi krisis energi nuklir itu. Dia berjanji mundur dalam beberapa bulan mendatang. Di tengah arus kritik publik itu dan rencananya untuk mundur, Kan telah berjanji untuk merombak peraturan tenaga nuklir dan mengumumkan langkah-langkah keselamatan yang baru.

Bulan lalu Kan juga berjanji untuk meningkatkan energi terbarukan minimal 20 persen dari pasokan listrik Jepang pada tahun 2020-an. Jumlah itu sekitar dua kali lipat dari kondisi saat ini dan mengurangi seperenam biaya pembangkit listrik tenaga surya pada 2020.

Sementara itu, otoritas Fukushima, Selasa, mengumumkan, pihaknya telah membagikan pendeteksi radiasi nuklir masing- masing kepada 34.000 anak. Hal itu dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh anak-anak terpapar radiasi nuklir yang terletak sekitar 60 kilometer dari kota.

Pendeteksi radiasi yang disebut ”dosimeter” itu dibagikan pada setiap anak berusia 4-15 tahun. Alat itu untuk mendeteksi kondisi anak selama tiga bulan hingga September, dan mereka dapat menggunakannya selama itu.

Dosimeter dibagikan setelah orangtua risau, anak-anak mereka telah terpapar radiasi. Untuk mengurangi rasa cemas itu, pemerintah membagikan dosimeter. Orangtua bisa ikut memantau. (AFP/REUTERS/CAL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com