Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekerasan pada Ternak

Kompas.com - 13/06/2011, 03:38 WIB

Tri Satya Putri Naipospos

Setelah surat kabar-surat kabar terkemuka Australia memuat bocoran Wikileaks tentang Presiden Indonesia, kini Australia mengangkat isu kekerasan terhadap binatang di Indonesia yang dianggap tidak mematuhi kaidah-kaidah kesejahteraan hewan internasional.

Persoalan mencuat setelah hasil investigasi dua organisasi penyayang binatang Australia ke 11 rumah pemotongan hewan (RPH) di Indonesia bulan Maret 2011 ditayangkan televisi ABC Four Corners tanggal 30 Mei 2011.

Tayangan memperlihatkan adegan demi adegan penyiksaan yang dirasa melampaui batas pada saat sapi-sapi impor asal Australia itu disembelih di RPH. Suatu tontonan yang mengenaskan dan kejam, tapi menimbulkan beragam interpretasi bergantung pada sensitivitas individu dan faktor budaya, sosial, dan ekonominya.

Penayangan sempat menghebohkan pemerintah, produsen ternak dan industri sapi Australia, dan berdampak pada desakan untuk menunda bahkan menghentikan ekspor sapi hidup ke Indonesia. Reaksi beragam juga muncul dari anggota DPR, pejabat pemerintah, organisasi ternak, dan importir ternak maupun daging.

Ternak di negara berkembang

Di negara berkembang Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, kebanyakan ternak dipelihara di pedesaan dengan ladang penggembalaan terbatas. Ternak merupakan tabungan hidup. Kekayaan budaya dan tradisi agama tidak menghindarkan ternak dari tindakan kekerasan. Tetapi, di sisi lain, masyarakat juga punya tradisi mendewakan ternak atau memperlakukannya sebagai hewan suci.

Sepuluh miliar ekor ternak sapi disembelih untuk dikonsumsi penduduk dunia setiap tahun. Di Indonesia lebih dari dua juta ekor ternak disembelih per tahun di ratusan RPH di seluruh negeri. Ternak-ternak ini setiap saat menerima perlakuan manusia mulai dari peternakan sampai pengangkutan dan penyembelihan. Tak dapat disangkal, ternak-ternak itu sering mengalami penderitaan akibat malnutrisi, muatan melebihi daya tampung, dan perlakuan tidak wajar.

Di RPH-RPH yang masih menjalankan sistem tradisional, sering kali ternak diperlakukan kasar, menyaksikan langsung sesamanya dibunuh dan disembelih, serta tidak dipraktikkannya proses pemingsanan ternak sebelum dipotong (stunning). Kekerasan terhadap ternak berlangsung di setiap tahapan selama proses penyembelihan berlangsung.

Ironinya, pengangkutan ternak sering kali makan waktu lama sehingga ternak mengalami stres di jalan. Kapal laut, truk, maupun kereta pengangkut ternak tidak dirancang baik dan pemuatannya melebihi kapasitas tampung. Penyediaan pakan dan minuman sepanjang pengangkutan tidak memadai. Begitu juga peralatan bongkar muat dan penanganan ternak kurang memadai dalam upaya menghindari kemungkinan ternak terluka, memar, terinjak-injak, atau mengalami kecelakaan yang menyebabkan patah tulang, terkoyak, atau kehilangan tanduk.

Kesejahteraan hewan

Sejarah kesejahteraan hewan dimulai abad ke-18, di mana hubungan yang sangat dekat antara manusia dan hewan memunculkan pertanyaan mendasar di benak manusia tentang hewan. Hewan dianggap tidak bisa berpikir, juga tidak bisa bicara, tetapi apakah mereka bisa menderita? Inspirasi timbul terutama dalam diri pengarang dan penyair yang menyatakan simpati mereka dan menentang tindak kekerasan dan eksploitasi hewan.

Maka, sebagian negara di Amerika Utara dan Eropa merintis perundangan tentang kesejahteraan hewan abad ke-19. Hubungan manusia-hewan berubah sebagai hasil dari pembangunan pertanian, pertumbuhan ekonomi, ekspansi urban, dan perubahan politik. Namun, tidak bisa disangkal bahwa sampai abad ke-21, masih ada gap besar antara negara maju dan berkembang ihwal kesejahteraan hewan.

Aspek pengaturan kesejahteraan hewan mengacu pada lima prinsip (five freedom) yang diadopsi dunia internasional pada 1979, mencakup bebas dari rasa haus dan lapar; bebas dari rasa menderita; bebas dari rasa sakit, cedera, dan penyakit; bebas mengekspresikan perilaku normal; serta bebas dari rasa takut dan tertekan.

Perlakuan manusia terhadap ternak dipengaruhi kepercayaan dan nilai-nilai budaya masing-masing. Setiap budaya juga berbeda dalam menetapkan prioritas prinsip kesejahteraan hewan, seperti kebutuhan pakan dan air menjadi lebih penting dibandingkan rasa takut dan tertekan.

Isu kesejahteraan hewan justru lebih dikuatkan oleh organisasi swasta internasional yang mendapat dukungan dana dari komunitas penyayang binatang di seluruh dunia. Peranan organisasi semacam ini sangat kuat dalam melobi, mengadvokasi, mengajukan petisi, atau kampanye protes terhadap pemerintahan negara mana pun yang dituduh tidak memerhatikan hak hidup dan perlindungan hewan.

Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mulai merintis pembuatan standar-standar kesejahteraan hewan pada 2001 dan secara resmi diperkenalkan kepada negara anggota pada 2004. Pada tahun yang sama, OIE menyelenggarakan konferensi internasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran negara anggota dan menjelaskan tentang inisiatif OIE dalam menetapkan standar-standar tersebut.

Indonesia secara de facto belum mengenal dan mengapresiasi prinsip-prinsip kesejahteraan hewan dalam sistem produksi ternak dan kesehatan hewannya. Standar tinggi di negara maju tidak begitu saja mudah ditransformasi ke dalam sistem negara berkembang.

Perdagangan ternak 

Sejatinya, isu kesejahteraan hewan bukan monopoli negara maju. Banyak kasus di dunia mengaitkan isu kesejahteraan hewan dengan perdagangan. Isu hak perlindungan hewan masuk ke dalam perjanjian perdagangan bebas sehingga kepatuhan terhadap pemenuhan standar kesejahteraan hewan bukan hanya menjadi kesempatan promosi perbaikan teknologi, tetapi juga pembukaan akses pasar.

Perundangan dan prosedur konsultasi yang kuat antara pemerintah dan masyarakat di Australia telah mendorong upaya-upaya untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan hewan di semua aspek. Australian Animal Welfare Strategy diterbitkan tahun 2004 untuk menata arah pengembangan dan landasan kebijakan kesejahteraan hewan di masa depan. Strategi ini sekaligus menyediakan kerangka yang mengaitkan kesejahteraan hewan dengan kesehatan hewan dan produksi.

Sampai akhir Juni tahun lalu, menurut Meat & Livestock Australia, total ekspor sapi hidup Australia mencapai 873.573 ekor senilai sekitar 744 juta dollar AS. Indonesia adalah negara pangsa pasar terbesar sapi hidup Australia (60 persen dari total ekspor) sehingga penghentian ekspor akan menimbulkan kerugian ekonomi signifikan.

Perbedaan pandangan antara Australia dan Indonesia dalam meletakkan isu kesejahteraan hewan dalam konteks perdagangan dan bisnis mudah menimbulkan rasa curiga antarkedua negara. Tuduhan menjadi tidak relevan apabila dikaitkan dengan politik dagang. Bagi Indonesia, dengan konsumsi protein hewani hanya 5,1 gram per kapita per hari, tantangan pencapaian sasaran swasembada daging lebih perlu diseriusi semua pihak.

Isu ke depan

Indonesia ke depan akan tetap jadi sasaran kritik tentang penyiksaan dan perlakuan semena-mena terhadap hewan. Seperti halnya kecaman dunia internasional menyangkut pembunuhan massal anjing liar di Bali. Tindakan bertentangan dengan kesejahteraan hewan tersebut justru dipercaya tidak membantu masyarakat Bali keluar dari masalah rabies.

Seperti halnya negara berkembang lain, harus diakui, Indonesia mengalami kemajuan perlahan dan sangat terbatas dalam mengembangkan, mempromosikan, dan menerapkan kaidah-kaidah kesejahteraan hewan. Keterbatasan lebih disebabkan lemahnya sistem kesehatan hewan nasional dan terbatasnya sumber daya.

Dukungan dana diperlukan untuk melaksanakan kampanye publik dan edukasi peningkatan kesadaran masyarakat, ekspos media internasional, dan pariwisata secara berkesinambungan. Tanpa kerja keras, sulit rasanya mencapai kemajuan memperjuangkan pemberlakuan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan dalam konteks perdagangan, pengendalian penyakit, pemeliharaan hewan kesayangan, pemanfaatan hewan laboratorium dan penelitian, maupun konservasi satwa liar.

Dalam menangani masalah kesejahteraan hewan di negara berkembang, tidak tepat apabila standar internasional diadopsi begitu saja. Setiap negara berkembang, tentunya juga Indonesia, harus mengembangkan standar mereka sendiri mengacu pada lima prinsip di atas dan berdasarkan prioritas yang dibutuhkan.

Tri Satya Putri Naipospos Bekerja di Food and Agriculture Organization for the United Nations di Vientiane, Laos

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com