Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ABG Jadi Simbol Perlawanan

Kompas.com - 01/06/2011, 09:21 WIB

DARAA, KOMPAS.com - Narasi dalam sebuah video yang diunggah di YouTube itu berbunyi, "Lihat luka-luka pada wajahnya dan lehernya yang patah." Video berdurasi 2,5 menit itu seolah menjadi katalog luka pada jenazah ABG 13 tahun. Jenazah Hamza Ali al-Khateeb.

Hamza menjadi bukti kekejaman tentara Suriah terhadap rakyat dan kelompok oposisi. Wajahnya bengkak dan biru, Tubuhnya penuh luka pukul dan luka tembak. Lehernya patah dan yang lebih kejam, alat vitalnya pun dimulitasi. Bocah 13 tahun diketahui sebagai korban termuda rezim Bashar al-Assad.

Kini Hamza menjadi simbol baru perjuangan rakyat Suriah menentang Assad. Akhir pekan lalu, di hampir setiap demonstrasi yang digelar di seluruh Suriah foto besar Hamza diangkat tinggi-tinggi. Mereka menyerukan namanya. Di Damaskus, anak-anak berdemo untuknya, sementara warga Aleppo naik ke atap rumah mereka dan menjadikan hari itu "Hari Hamza."   Hamza terpisah dari orangtuanya ketika warga desa-desa di sekitar Daraa turun ke jalan pada 29 April lalu. Waktu itu warga memprotes pengepungan terhadap Daraa sehingga mereka sulit mendapatkan kebutuhan pokok seperti makanan, susu untuk bayi dan obat-obatan penting.

Hari itu tindakan aparat keamanan sangat keras. Mereka menembaki demonstran secara brutal. Banya yang terbunuh dan terluka. Saksi mata melihat mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan.

Jumlah demonstran yang ditangkap tak terhitung. Salah satunya Hamza. Menurut keluarganya, Hamza terpisah dari ayahnya. Bocah itu tidak pernah pulang lagi.

Sebulan kemudian, keluarganya menerima jenazahnya. Kondisinya sangat mengenaskan. Saat itulah video itu diambil.

"Lihat bukti penyiksaan terhadapnya," bunyi narasi dalam video itu. "Lihat lebam pada wajahnya dan lehernya yang patah. Lihatlah lebam pada kaki kirinya. Ada yang lebih parah. Mereka tidak puas dengan menyiksa bocah ini sehingga tega memotong alat vitalnya."

Razan Zaitouneh, seorang aktivis Suriah yang bersembunyi di Amerika Serikat, berpendapat dengan mengembalikan jenazah Hamza itu aparat bermaksud mengirim pesan khusus. "Mereka ingin rakyat melihatnya. Mereka ingin rakyat takut. Mereka ingin rakyat melihat betapa mengerikan jadinya bila rakyat terus berpartisipasi dalam revolusi," kata Zaitouneh.

Alih-alih membuat takut rakyat, kematian Hamza justru membuat rakyat makin berani. "Rakyat makin marah. Bahkan setiap keluarga di Suriah, bahkan yang tidak setuju dengan revolusi, merasa Hamza adalah anak mereka," jelas Zaitouneh.

Kematian Hamza memicu demonstrasi yang lebih besar di Suriah. Dalam video yang diunggah di YouTube, para pengunjuk rasa di Damaskus berseru, "Saudara-saudaraku yang setia, jangan lupa anak-anak kalian juga bisa menjadi Hamza al-Khateeb,"

Bahkan anak-anak pun turun ke jalan, meskipun mereka sadar ada risiko mengalami kejadian serupa. Mereka menegaskan darah yang tertumpah dari Hamza tidak akan sia-sia.

Televisi pemerintah kemudian menyiarkan berita yang menunjukkan Presiden Assad menerima dua lelaki yang disebut sebagai ayah dan paman Hamza. Assad digambarkan menyambut keduanya dan menjanjikan reformasi.

Menurut para aktivis, Hamza bukan anak pertama yang menjadi korban aparat keamaan Assad. Sebuah video yang diunggah di YouTube menunjukkan potongan-potongan gambar ketika orang sedang menarik jenazah anak-anak dari jalan di tengah hujan peluru. Di video lain tampak mayat anak-anak tergeletak di rumah sakit. Mereka korban aparat yang menembaki bus yang mereka tumpangi.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com