JERUSALEM, Minggu -
Mesir menutup perlintasan Rafah, yang menghubungkan Mesir dengan Jalur Gaza yang dikuasai kelompok Hamas, pada 2007. Israel menganggap, pembukaan kembali Rafah akan menguntungkan Hamas, yang dianggap oleh Israel, Amerika Serikat, dan Eropa sebagai kelompok teroris.
”Lalu lintas orang dan barang yang bebas dengan mudah bisa digunakan untuk memasukkan amunisi, senjata, terlebih lagi masuknya teroris,” kata Menteri Infrastruktur Israel Uzi Landau.
Pemerintah Mesir, April lalu, mengumumkan rencana pembukaan kembali perbatasan itu. Keputusan itu diambil setelah Hamas menandatangani kesepakatan damai dengan kelompok Fatah, mengakhiri perselisihan selama empat tahun yang menyebabkan perbatasan ditutup.
Mesir tetap dengan keputusannya meski Israel dan Otoritas Palestina menandatangani perjanjian tahun 2005, menyetujui penempatan pemantau dari Uni Eropa di perbatasan. Meski Mesir tak ikut menandatangani perjanjian itu, Israel menuduh Mesir melanggar kesepakatan.
”Ini bukti nyata mengapa sangat penting bagi Israel untuk menjaga sendiri perbatasan untuk mencegah penyusupan teroris dan senjata,” kata Menteri Keuangan Israel Yuval Steinitz dalam rapat kabinet Israel.
Pembukaan kembali Rafah juga menjadi alasan bagi Israel untuk mempertahankan kontrol perbatasan di Lembah Sungai Jordan. ”Perjanjian ditandatangani untuk dihormati,” kata Uzi Landau.
Meski tak terkait dengan kesepakatan itu, mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak sepakat untuk mematuhinya. Berdasarkan kesepakatan itu, Rafah berada di bawah kendali Mesir dan Palestina. Pemantau UE bertugas mulai November 2005 untuk mencegah pengiriman senjata dan lalu lintas orang-orang yang dicurigai.
Namun, tujuh bulan kemudian misi pemantau UE terpaksa diakhir karena penangkapan prajurit Israel, Gilad Shalit, oleh militan Gaza. Penangkapan ini dibalas Israel dengan memblokade wilayah Gaza.