Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ikhwanul Muslimin Belajar dari Hamas

Kompas.com - 29/05/2011, 03:32 WIB

Jumat malam, 27 Mei 2011, di sebuah restoran di Kairo, Kompas berbincang-bincang dengan tokoh muda Ikhwanul Muslimin, Ibrahim Darawi, dan salah seorang pemimpin Hamas Palestina, Ismail Ridhwan, yang sedang berkunjung ke kota Kairo tentang masa depan Mesir pascarevolusi.

Dari perbincangan itu ditarik kesimpulan bahwa Ikhwanul Muslimin di Mesir harus belajar dari kesalahan Hamas di Palestina. Menurut Ridhwan, Hamas melakukan kesalahan dengan membentuk pemerintahan sendiri tanpa memperhitungkan kondisi regional dan internasional ketika mereka memenangi pemilu secara mutlak pada Januari 2006.

Akibatnya, lanjut Ridhwan, Pemerintah Palestina hasil bentukan Hamas langsung diblokade total oleh masyarakat internasional sehingga Pemerintah Hamas tidak bisa bekerja dan kemenangan Hamas tidak bermakna lagi.

”Seharusnya Hamas saat itu membentuk pemerintah teknokrat saja dan Hamas membangun kekuatan penekan di parlemen sehingga Hamas tidak mendapat tekanan langsung dari masyarakat internasional,” ujar Ridhwan pula.

Menghadapi pemilihan umum (pemilu) Mesir pada September mendatang, menurut Ismail Ridhwan, Ikhwanul Muslimin di Mesir, kalau saja mampu memenangi pemilu parlemen pada September nanti, disarankan untuk jangan dulu membentuk pemerintahan sendiri, tetapi lebih dahulu membentuk pemerintahan koalisi dengan partai-partai politik lain sehingga bisa memikul beban bersama dalam menghadapi problem Mesir yang cukup berat pascarevolusi ini.

Kekuatan penekan

Ibrahim Darawi dari Ikhwanul Muslimin membenarkan pendapat Ridhwan tersebut. Bahkan, menurut Darawi, Ikhwanul Muslimin tidak menginginkan kemenangan mutlak pada pemilu parlemen nanti. Darawi mengungkapkan bahwa Ikhwanul Muslimin hanya ingin membangun kekuatan penekan di parlemen nanti dan hal tersebut cukup punya 25 persen hingga 35 persen kursi di parlemen.

Darawi menegaskan, problem Mesir pascarevolusi sangat berat, baik dari aspek ekonomi, sosial, keamanan, maupun politik, sehingga semua partai politik di Mesir saat ini, termasuk Ikhwanul Muslimin, cenderung menghindar dari kemungkinan menang mutlak sehingga harus membentuk pemerintahan sendiri. Mereka menghindar karena tidak ingin jika nantinya gagal menjalankan roda pemerintahan, kegagalan itu akan dipikul sendiri.

Oleh karena itu, lanjut Darawi, ada semacam kesepakatan bahwa pemerintahan pertama di Mesir setelah revolusi harus berbentuk pemerintah koalisi sehingga semua risiko, baik sukses maupun gagal, hendaknya dipikul bersama-sama.

Darawi mengatakan, pemerintah pertama pascarevolusi nanti masih percobaan atau masih dikatakan transisi karena jarak waktu antara lengsernya Presiden Hosni Mubarak dan pemilu terlalu singkat, yakni hanya enam bulan.

”Banyak partai sesungguhnya belum siap. Hanya Ikhwanul Muslimin yang paling siap karena infrastruktur organisasinya sudah mapan. Itu pun Ikhwanul Muslimin tidak ingin langsung memimpin Mesir karena tantangan setelah revolusi sangat berat,” tegas Darawi. (mth)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com