Negara-negara Barat pun tampak ”setengah hati” dalam mendukung gerakan rakyat Arab. Dengan sangat jelas mereka bersikap pilih kasih. Dalam menyikapi perlawanan di Libya dan Suriah, misalnya, terkesan bahwa Barat/NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) sangat antusias mendukung pemberontakan. Namun, dalam kasus Yaman dan Bahrain, sikap Barat sebaliknya.
Tampaknya negara-negara Barat memiliki agenda terselubung dalam menghadapi perubahan yang tengah terjadi di Dunia Arab. Ini sangat berbeda dibandingkan sikap mereka terhadap ”revolusi” di kawasan Eropa Timur, sekitar 20 tahun silam. Memang ada perbedaan karakteristik yang sangat fundamental antara Eropa Timur akhir 1980-an dan Timur Tengah sekarang.
Kelompok-kelompok oposisi di Eropa Timur umumnya menganut ideologi kapitalisme/liberalisme yang sangat pro-Barat, antitesis terhadap rezim-rezim mereka pada masa itu yang berpaham komunisme/marxisme/sosialisme. Perhatikan, misalnya, rezim-rezim di Uni Soviet, Jerman Timur, Yugoslavia, dan Cekoslovakia kala itu.
Maka, setelah tumbangnya rezim-rezim di Eropa Timur tersebut, Francis Fukuyama keluar dengan bukunya yang sangat menghebohkan: The End of History and the Last Man. Fukuyama menyebut tumbangnya komunisme di Eropa Timur pada akhir 1980-an itu sebagai suatu kemenangan telak bagi demokrasi liberal-kapitalis Barat.
Namun, rupanya sejarah belum berakhir. Runtuhnya komunisme Eropa Timur tidak
”Terorisme” berhasil dijadikan sebagai ”hantu baru” bagi dunia internasional. Walhasil, segala bentuk ”perang melawan teror-
Barat berhasil memompakan opini kepada dunia bahwa ”te-
Dijadikannya ”terorisme” sebagai ”musuh baru” bagi Barat pasca-runtuhnya komunisme di Eropa Timur jadi dalih pembenaran bagi aksi-aksi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang justru dilakukan negara-negara Barat sendiri terhadap Dunia Arab dan sekitarnya. Contoh paling kasatmata adalah invasi militer Barat atas Afganistan (2001) dan Irak (2003), selain dukungan penuh mereka bagi kontinuitas pelanggaran HAM Israel yang
Ketiga hal tersebut di atas (pendudukan Barat atas Afganistan, Irak, serta penjajahan Israel di Palestina) itulah yang sejatinya menjadi akar dan sumber merebaknya aksi-aksi ”terorisme” di seantero dunia. Oleh sebab itu, kematian Osama bin Laden tidak akan secara otomatis menepiskan ancaman ”terorisme”, terutama selama tidak ada penyelesaian atas ketiga problema tersebut.
Memburu dan membunuhi para ”teroris” guna menumpas ”terorisme” tanpa sedikit pun menyentuh akar problemanya akan sama saja dengan membantai para ”bandit” guna melenyapkan kriminalitas. Jalan pintas yang tidak akan menyelesaikan akar masalah.
Ketiga problematik tersebut menjadi pembeda utama antara revolusi rakyat di Dunia Arab (akhir-akhir ini) dan Eropa Timur (akhir 1980-an). Jika para oposan di kawasan Eropa Timur umumnya pro-Barat, di Dunia Arab justru sebaliknya. Rezim-rezim Arab yang tak disukai oleh rakyatnya justru umumnya para sekutu Barat. Sementara kebanyakan rakyat Arab justru memandang Barat sebagai kaum neo-kolonialis yang terus berupaya melanggengkan hegemoninya di tanah mereka.
Dukungan Barat kepada rakyat Libya seyogianya dilihat sebagai keinginan Barat menguasai minyak Libya. Sama sekali bukan untuk menegakkan demokrasi. Buktinya Barat hanya berdiam diri menyaksikan pembantaian warga sipil di Yaman dan Bahrain. Lagi pula, jika Barat sungguh-sungguh hendak menegakkan demokrasi dan melawan terorisme, seharusnya mereka sudah secepatnya angkat kaki dari Irak setelah Saddam Hussein dieksekusi, atau angkat kaki dari Afganistan begitu Osama berhasil ditewaskan. Nyatanya, Barat tetap bercokol di dua negara tersebut, kendati sudah ribuan tentara mereka yang tewas di sana. Entah sampai kapan?