Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Barat dan Revolusi Arab

Kompas.com - 26/05/2011, 03:32 WIB

Riza Sihbudi

Gemuruh gelombang ”demokratisasi” di Dunia Arab, yang pada mulanya berhasil menggulingkan rezim Ben Ali di Tunisia dan Hosni Mubarak di Mesir, tampaknya dalam beberapa pekan terakhir menunjukkan tanda-tanda ”anti-klimaks”.

Negara-negara Barat pun tampak ”setengah hati” dalam mendukung gerakan rakyat Arab. Dengan sangat jelas mereka bersikap pilih kasih. Dalam menyikapi perlawanan di Libya dan Suriah, misalnya, terkesan bahwa Barat/NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) sangat antusias mendukung pemberontakan. Namun, dalam kasus Yaman dan Bahrain, sikap Barat sebaliknya.

Tampaknya negara-negara Barat memiliki agenda terselubung dalam menghadapi perubahan yang tengah terjadi di Dunia Arab. Ini sangat berbeda dibandingkan sikap mereka terhadap ”revolusi” di kawasan Eropa Timur, sekitar 20 tahun silam. Memang ada perbedaan karakteristik yang sangat fundamental antara Eropa Timur akhir 1980-an dan Timur Tengah sekarang.

Eropa Timur-Timur Tengah

Kelompok-kelompok oposisi di Eropa Timur umumnya menganut ideologi kapitalisme/liberalisme yang sangat pro-Barat, antitesis terhadap rezim-rezim mereka pada masa itu yang berpaham komunisme/marxisme/sosialisme. Perhatikan, misalnya, rezim-rezim di Uni Soviet, Jerman Timur, Yugoslavia, dan Cekoslovakia kala itu.

Maka, setelah tumbangnya rezim-rezim di Eropa Timur tersebut, Francis Fukuyama keluar dengan bukunya yang sangat menghebohkan: The End of History and the Last Man. Fukuyama menyebut tumbangnya komunisme di Eropa Timur pada akhir 1980-an itu sebagai suatu kemenangan telak bagi demokrasi liberal-kapitalis Barat.

Namun, rupanya sejarah belum berakhir. Runtuhnya komunisme Eropa Timur tidak serta-merta membuat para elite politik Barat dapat ”tidur pulas”. Mereka perlu—meminjam istilah dalam olahraga tinju—semacam mitra tanding. Serangan 11 September 2001 atas menara kembar di WTC New York dan Gedung Pentagon, Amerika Serikat, yang dituduhkan kepada kelompok Al Qaeda seakan-akan jadi momen- tum bagi Barat dalam menemukan mitra tanding tersebut. Maka, segera diproklamirkanlah apa yang mereka sebut sebagai War Against Terrorism.

”Terorisme” berhasil dijadikan sebagai ”hantu baru” bagi dunia internasional. Walhasil, segala bentuk ”perang melawan teror- isme” serta-merta menjadi ”proyek” yang menggairahkan di negara-negara berkembang, khususnya di sektor pertahanan dan keamanan.

Barat berhasil memompakan opini kepada dunia bahwa ”te- rorisme” merupakan musuh umat manusia. Padahal, sejatinya, ”terorisme” bukanlah satu-satunya musuh bagi kemanusiaan. Masih ada korupsi, premanisme, dan narkoba yang semestinya lebih mengancam bagi umat manusia, mengingat dampaknya yang jauh lebih masif dan mengerikan.

Tiga problema

Dijadikannya ”terorisme” sebagai ”musuh baru” bagi Barat pasca-runtuhnya komunisme di Eropa Timur jadi dalih pembenaran bagi aksi-aksi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang justru dilakukan negara-negara Barat sendiri terhadap Dunia Arab dan sekitarnya. Contoh paling kasatmata adalah invasi militer Barat atas Afganistan (2001) dan Irak (2003), selain dukungan penuh mereka bagi kontinuitas pelanggaran HAM Israel yang sistematis di Tanah Palestina.

Ketiga hal tersebut di atas (pendudukan Barat atas Afganistan, Irak, serta penjajahan Israel di Palestina) itulah yang sejatinya menjadi akar dan sumber merebaknya aksi-aksi ”terorisme” di seantero dunia. Oleh sebab itu, kematian Osama bin Laden tidak akan secara otomatis menepiskan ancaman ”terorisme”, terutama selama tidak ada penyelesaian atas ketiga problema tersebut.

Memburu dan membunuhi para ”teroris” guna menumpas ”terorisme” tanpa sedikit pun menyentuh akar problemanya akan sama saja dengan membantai para ”bandit” guna melenyapkan kriminalitas. Jalan pintas yang tidak akan menyelesaikan akar masalah.

Ketiga problematik tersebut menjadi pembeda utama antara revolusi rakyat di Dunia Arab (akhir-akhir ini) dan Eropa Timur (akhir 1980-an). Jika para oposan di kawasan Eropa Timur umumnya pro-Barat, di Dunia Arab justru sebaliknya. Rezim-rezim Arab yang tak disukai oleh rakyatnya justru umumnya para sekutu Barat. Sementara kebanyakan rakyat Arab justru memandang Barat sebagai kaum neo-kolonialis yang terus berupaya melanggengkan hegemoninya di tanah mereka.

Dukungan Barat kepada rakyat Libya seyogianya dilihat sebagai keinginan Barat menguasai minyak Libya. Sama sekali bukan untuk menegakkan demokrasi. Buktinya Barat hanya berdiam diri menyaksikan pembantaian warga sipil di Yaman dan Bahrain. Lagi pula, jika Barat sungguh-sungguh hendak menegakkan demokrasi dan melawan terorisme, seharusnya mereka sudah secepatnya angkat kaki dari Irak setelah Saddam Hussein dieksekusi, atau angkat kaki dari Afganistan begitu Osama berhasil ditewaskan. Nyatanya, Barat tetap bercokol di dua negara tersebut, kendati sudah ribuan tentara mereka yang tewas di sana. Entah sampai kapan?

Riza Sihbudi Profesor Riset LIPI; Mantan Diplomat

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com