Depok, Kompas
Pemerintah harus mempertimbangkan pilihan sekuritisasi dalam penanganan terorisme, seperti dilakukan Amerika Serikat dengan Patriot Act atau Malaysia dan Singapura yang menggunakan Internal Security Act.
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, dalam seminar di kampus UI, Depok, Rabu (25/5), mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya bisa menggunakan kewenangan melakukan sekuritisasi dengan melibatkan TNI melalui detasemen antiteror, seperti Detasemen 81 Penanggulangan Teror Kopassus TNI AD atau Detasemen Jala Mengkara TNI AL.
”Saya sebenarnya berharap saat menceritakan posternya dijadikan latihan sasaran tembak oleh kelompok teroris, Presiden akan melakukan sekuritisasi. Namun, dalam setiap pertemuannya dengan TNI terkait penanganan teroris, Presiden hanya mengatakan meminta kewaspadaan TNI melalui Bintara Pembina Desa yang pangkatnya setingkat sersan. Ini karena ketakutan kalau TNI dilibatkan, mereka akan kembali lagi masuk ke sistem politik kita,” tutur Andi.
Menurut Andi, saat ini memang sekuritisasi tidak terlalu diperlukan karena eskalasi teror tak sebesar ketika terjadi bom Bali atau bom Marriott. Namun, seiring dengan ancaman terbentuknya front kedua Al Qaeda di Indonesia setelah kematian Osama, pilihan melakukan sekuritisasi harus kembali dipertimbangkan pemerintah.
Mengutip Zachary Abuza, profesor ilmu politik dari Simmons College Boston, mantan aktivis Negara Islam Indonesia Al Chaidar menuturkan, Osama memang melihat Asia Tenggara sebagai kawasan sangat potensial. Indonesia dianggap sebagai negara dengan pemerintahan lemah, pengawasan dan penjagaan perbatasan yang keropos, serta tempat yang mudah untuk pencurian identitas dan pencucian uang sehingga memberi peluang teroris berlatih dan beroperasi.
Terpisah, Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar menyatakan, penembakan terhadap terduga teroris oleh Densus 88 dilakukan atas pertimbangan ancaman jiwa terhadap petugas dan masyarakat. Boy menambahkan, Densus 88 merupakan bagian dari Polri. Secara internal, Polri tetap mengawasi kinerja Densus. Institusi eksternal juga tetap mengawasi Polri.
Di Solo, Jawa Tengah, tim pencari fakta atas kasus tertembaknya pedagang angkringan, Nuriman, meragukan terjadi baku tembak antara Densus 88 dan terduga teroris Sigit Qurdowi dan Hendro Yunianto dalam penembakan Sabtu (14/5) di Sukoharjo.
Hal itu terindikasi dari banyaknya peluru yang mengenai Hendro yang diperkirakan berasal dari satu arah atau satu sumber. Nuriman juga diduga tewas bukan karena tertembak peluru Sigit, tetapi sengaja dibunuh karena merupakan saksi hidup.(bil/fer/wie)