KOMPAS.com — Krisis politik berkepanjangan memang bakal merugikan siapa pun. Berangkat dari situlah, semua pihak di Yaman kembali mengupayakan cara-cara damai agar negeri itu menjadi aman.
Alhasil, pemerintah dan oposisi bersedia menandatangani kesepakatan politik. Menurut warta AP dan AFP pada Rabu (18/5/2011), kesepakatan itu akan segera terwujud. Sebelumnya, Presiden Ali Abdullah Saleh bulan lalu mundur dari penandatanganan kesepakatan itu pada menit-menit terakhir.
Saat itu, Presiden Saleh dilaporkan hanya bersedia menandatangani kesepakatan itu dalam kapasitasnya sebagai pemimpin partai yang berkuasa. Sementara kubu oposisi mendesak Ali Abdullah Saleh menandatangani kesepakatan itu dalam kapasitasnya sebagai presiden.
Meski begitu, kesepakatan baru sudah memuat amandemen. Pasalnya, ada campur tangan diplomat Amerika Serikat dan Eropa.
Partai Kongres Rakyat Umum yang memerintah dan koalisi kubu oposisi, Barisan Bersama, sudah mencapai kesepakatan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan nasional bersatu. "Setelah upaya dari Teluk, Amerika Serika, dan Eropa, tercapai persetujuan dari Presiden dalam prakarsa Teluk yang mengalami perubahan sederhana dan penandatanganan akan dilaksanakan hari ini," kata Yahya Abu Usbua.
Seorang staf Presiden Saleh menegaskan, "Ya, akan dilakukan hari ini."
Lengser
Pihak oposisi mengatakan, kesepakatan itu akan membuat Presiden Saleh–yang sudah memerintah selama 33 tahun–mundur dari jabatannya dalam waktu sebulan. Kesepakatan ini diharapkan bisa mengakhiri krisis politik di Yaman setelah unjuk rasa antipemerintah selama berbulan-bulan.
Bagaimanapun, kubu oposisi mendapat kecaman dari kelompok muda pengunjuk rasa yang menuduh mereka melanggar janji untuk membawa Presiden Saleh ke pengadilan. Kritik lain menyebutkan bahwa membiarkan Presiden berkuasan untuk satu bulan lagi akan memperburuk kondisi negara itu.
Berdasarkan kesepakatan, Presiden akan menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya. Ia pun akan mendapat kekebalan dari proses penuntutan hukum.