Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Semakin Terpojok

Kompas.com - 15/05/2011, 03:48 WIB

Musthafa Abd Rahman

Stasiun televisi Aljazeera, Jumat (13/5), menayangkan beberapa cuplikan gambar video dari hasil rekaman telepon seluler oleh sejumlah saksi mata tentang aksi militer Suriah menumpas gerakan unjuk rasa prodemokrasi di berbagai kota. Cuplikan gambar itu tidak terjadi dalam satu hari, tetapi beberapa hari yang berbeda selama bulan April dan Mei.  

Siapa pun yang menonton cuplikan gambar itu segera memperoleh kesan bahwa betapa kerasnya otoritas Suriah dalam menumpas aksi unjuk rasa itu.

Terlihat tank-tank memasuki kota dan terdengar suara tembakan di sana-sini, tak ubahnya seperti suasana perang. Tampak pula seorang tergeletak di jalan terkena tembakan penembak jitu. Ada pula pemandangan kaum wanita bertangisan, meratapi rekan wanita lain yang gugur tertembak atau ditangkap.

Semua gambar itu diperoleh lewat tangan saksi mata di lapangan, dan entah bagaimana mereka bisa mengirim gambar-gambar itu ke stasiun televisi Aljazeera.

Hanya dengan itu satu-satunya cara mendapat informasi tentang peristiwa sebenarnya di Suriah saat ini karena wartawan asing maupun lokal dilarang masuk ke kota-kota yang dikenal menjadi basis unjuk rasa, seperti kota Daraa, Banias, Homs, dan desa-desa sekitarnya. 

Gambar-gambar video tersebut tentu memberi pesan bahwa Suriah lebih mendekati skenario Libya daripada model Mesir dan Tunisia. Artinya, mesin militer yang berbicara dalam menghadapi aksi unjuk rasa prodemokrasi.

Otoritas Suriah menggunakan berbagai dalih untuk melegitimasi gerakan militer itu, seperti untuk menumpas sindikat bersenjata, memburu kelompok Salafi bersenjata, atau juga melawan konspirasi asing.

Kota Daraa (125 km arah selatan Damaskus) yang dikenal penggerak aksi unjuk rasa prodemokrasi, misalnya, dikepung oleh militer sejak dua pekan dan berlanjut sampai sekarang. Begitu pula kota Homs dan Banias.

Televisi Pemerintah Suriah pun sering pula menayangkan berbagai jenis senjata dan peluru yang katanya hasil rampasan dari gembong bersenjata itu. Bahkan, televisi resmi Suriah pada Jumat lalu menayangkan pula sejumlah orang dari anggota gembong bersenjata itu. 

Namun, meski dihadapi dengan tangan besi, unjuk rasa cukup besar tetap berkobar di berbagai kota, seakan tak gentar lagi menghadapi mesin militer rezim Bashar al-Assad itu.

Rakyat Suriah di berbagai kota, seperti kota Daraa, Homs, Banias, Bukamal, Raqqa, dan desa-desa di pinggiran kota Damaskus, seusai shalat Jumat, menggelar unjuk rasa antirezim Presiden Bashar al-Assad. Sedikitnya enam orang tewas dalam aksi unjuk rasa pada hari Jumat lalu.

Mereka semakin lantang berteriak ”rakyat ingin tumbangkan rezim” dan meneriakkan ”pergi... pergi... pergi...” persis seperti slogan yang dikumandangkan ketika revolusi Mesir dan Tunisia.

Keputusan Pemerintah Suriah mencabut UU darurat dan penghapusan pengadilan keamanan negara, beberapa pekan lalu, dianggap tidak cukup lagi. Rakyat kini hanya menginginkan hengkangnya rezim Bashar al-Assad. 

Opsi militer pun dalam dua pekan terakhir ini gagal menumpas aksi unjuk rasa itu. Sebaliknya, opsi militer tersebut mengundang protes dan bahkan sanksi masyarakat internasional karena dianggap menggunakan kekuatan secara berlebihan. Masyarakat internasional tidak menerima dalih otoritas Suriah tersebut tentang adanya sindikat bersenjata atau konspirasi asing itu. Mereka melihat unjuk rasa di Suriah adalah bagian dari gelombang revolusi rakyat di dunia Arab saat ini untuk menumbangkan rezim otoriter.

Sanksi Barat

Karena itu, Uni Eropa dan AS tidak ragu menjatuhkan paket sanksi terhadap otoritas Suriah yang mulai berlaku pada 10 Mei lalu sebagai protes atas aksi penindasan secara kekerasan terhadap aksi unjuk rasa prodemokrasi di negara itu.

Paket sanksi itu meliputi larangan pemasokan senjata ke Suriah serta larangan bepergian 13 pejabat Suriah dan pembekuan aset mereka.

Di antara 13 pejabat Suriah itu adalah Komandan Pengawal Republik Maher al-Assad (saudara kandung Presiden Bashar al-Assad), Kepala Intelijen Ali Mamluk, Menteri Dalam Negeri Mohammed Ibrahim al-Syiar, mantan Kepala Keamanan Politik Atef Najib, dan perwira tinggi dalam dinas intelijen Hafez Makhluf.

Ketua komisi Uni Eropa Catherine Ashton bahkan mengisyaratkan menjatuhkan sanksi baru yang lebih berat terhadap Suriah karena sanksi yang lalu dianggap terlalu ringan. 

Melihat tekad rakyat Suriah menumbangkan rezim, berapa pun harga yang harus dibayar, rezim Bashar al-Assad kini berada di persimpangan jalan.

Bashar al-Assad tentu tidak mungkin lagi bisa mengulang pembantaian yang dilakukan bapaknya, Hafez Assad, di Hamah pada 1982, dengan dalih menumpas gerakan makar yang digerakkan kubu islamis saat itu. Pembantaian itu membawa korban antara 20.000 dan 40.000 korban tewas, di tengah tiadanya liputan media saat itu. Pada zaman sekarang, di saat teknologi informasi sangat maju, gerak cicak pun bisa terdeteksi.

Turki mengingatkan

PM Turki Recep Tayyip Erdogan pada awal Mei lalu mengingatkan Suriah tidak mengulang pembantaian Hamah. Erdogan mengancam, jika Suriah mengulang pembantaian Hamah pada saat ini, Turki dan masyarakat internasional akan mengambil sikap tegas.

Ancaman Erdogan itu memberi pesan bahwa skenario campur tangan masyarakat internasional dengan dalih melindungi penduduk sipil seperti yang terjadi di Libya saat ini bisa terulang di Suriah. 

Erdogan dalam wawancara dengan stasiun televisi CBS pada Jumat lalu mengimbau Presiden Bashar al-Assad memenuhi tuntutan rakyatnya mendapatkan kebebasan, perdamaian, dan demokrasi.

PM Turki itu menegaskan, gelombang demokrasi di Timur Tengah tidak mungkin kembali ke belakang karena praktik nondemokratis yang dilakukan rezim diktator adalah faktor utama yang menggerakkan revolusi rakyat. 

Pilihan Bashar al-Assad ke depan pun sangat terbatas, untuk tidak mengatakan hanya satu pilihan, yaitu memenuhi tuntutan rakyatnya. Bagi Bashar al-Assad dan rezimnya kini harus mencari formula yang membuka jalan bisa mundur secara terhormat.

Menteri penerangan Suriah Adnan Hassan Mahmud secara mengejutkan pada Jumat lalu mengumumkan, otoritas Suriah akan menggelar dialog nasional dalam beberapa hari mendatang di seantero negeri yang akan melibatkan semua komponen masyarakat.

Barangkali dialog nasional itu merupakan kesempatan terakhir bagi rezim Bashar al-Assad untuk bisa keluar dari krisis secara terhormat. Hal itu bisa terwujud jika dalam dialog nasional itu disepakati mengamandemen konstitusi secara mendasar dengan jadwal waktu reformasi yang jelas, seperti digelar pemilu parlemen dan presiden secara demokratis, menyusun UU baru pemilu dan kepartaian, dijaminnya kebebasan berpendapat, penegakan hukum dan HAM, serta pemberantasan korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Tanpa disepakati reformasi mendasar, Suriah cepat atau lambat akan mengikuti jejak Libya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com