Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Quo Vadis" Revolusi Libya

Kompas.com - 03/05/2011, 04:31 WIB

Zuhairi Misrawi

Setelah dua bulan revolusi Libya berlangsung, belum juga ada tanda-tanda jatuhnya rezim Khadafy.

Meski Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)—didukung penuh oleh negara-negara Arab— sudah mengultimatum agar Khadafy meninggalkan kursi kekuasaannya, pemimpin totaliter tersebut masih bertahan, bahkan menyerang rakyatnya sendiri dengan membabi buta.

Dalam konteks yang lebih luas, krisis politik yang alot di Libya berdampak negatif terhadap revolusi di sejumlah negara yang kini bergejolak, seperti Yaman dan Suriah. Bertahannya Khadafy menambah keyakinan rezim otoriter, seperti Ali Abdullah Saleh dan Bashar al-Asad, mereka tidak perlu takut dengan gelombang revolusi. Ternyata kekuasaan dapat dipertahankan dalam kondisi krisis sekalipun, sebagaimana dilakukan Khadafy. Maka, krisis politik di Libya bermakna sangat berarti bagi demokratisasi di Arab saat ini.

Saif al-Islam, putra Khadafy, mengatakan, serangan NATO akan gagal. NATO mengklaim sudah melumpuhkan 40 persen kekuatan militer Khadafy. Fakta ini menunjukkan betapa sengitnya pertarungan pihak Khadafy dengan NATO yang didukung pasukan revolusi di Benghazi.

Pertarungan sengit antara pihak Khadafy dan pihak revolusi saat ini terjadi di kota Misrata dan Zintan, keduanya pintu masuk kota Tripoli yang menjadi pusat kekuatan Khadafy. Maka, Khadafy tidak akan membiarkan kedua kota tersebut jatuh ke tangan pihak revolusi.

Menurut Mustafa Abdul Jalil, Pimpinan Dewan Tinggi Transisi, ada dua alasan Khadafy mempertahankan mati-matian kedua kota tersebut: Pertama, setelah menguasai kedua kota strategis itu, Khadafy akan mendeklarasikan sistem federal sebagai salah satu tawaran politik kepada kepala suku di wilayah tersebut. Ini untuk menarik simpati warga Libya yang selama ini sudah mengalami krisis kepercayaan kepada Khadafy. Sistem politik federal diharapkan menjadi kado politik bagi para kepala suku.

Kedua, Khadafy sebisa mungkin akan memaksa pihak revolusi mendesak NATO ikut serta dalam pertempuran darat. Jika itu terjadi, Khadafy akan mendapatkan justifikasi untuk semakin membabi buta seperti sekarang, dengan alasan aksi militernya semata-mata untuk melawan kolonialis. Inilah yang sedang ditunggu-tunggu pihak Khadafy sebagai batu loncatan menaikkan kembali pamornya yang memudar di mata kabilah. Itu sebabnya pihak revolusi mewanti-wanti agar NATO tidak melakukan serangan darat karena akan melumpuhkan kepercayaan publik terhadap revolusi yang dikobarkan pihak oposisi sejak 17 Februari lalu.

De facto, pertarungan antara pihak Khadafy dan pihak revolusi ditentukan oleh sejauh mana kedua kota tersebut berhasil direbut tiap-tiap pihak. Beberapa hari terakhir, kedua pihak yang berseteru bergantian menguasai kedua kota tersebut. Khadafy kabarnya telah menyewa tentara bayaran dari Chad, Aljazair, dan Mesir untuk menguasai Misrata dan Zintan.

Optimisme

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com