Kairo, Kompas
Ratusan warga Suriah di berbagai kota, seperti Banias, Jableh, dan Zabadani, Selasa (19/4) malam, turun ke jalan seraya berteriak menuntut kebebasan. Mereka membantah tuduhan Pemerintah Suriah bahwa kelompok Salafi bersenjata berada di balik aksi kekerasan di kota Homs dan Banias.
Kota Homs yang menyaksikan aksi kekerasan berdarah, Selasa dini hari, kini ibarat kota hantu. Penduduk belum berani ke luar rumah dan jalan-jalan utama di kota itu praktis kosong dari lalu lintas kendaraan.
Menurut saksi mata, seperti diberitakan situs Al Jazeera, penduduk Homs masih dihinggapi rasa takut karena preman bersenjata masih merajalela di kota itu. Preman-preman itu setiap saat melepaskan tembakan membabi buta. Adapun organisasi profesi di kota Daraa menyatakan memutus hubungan dengan partai sosialis Baath yang berkuasa di Suriah.
Sejumlah aktivis HAM mengatakan, keputusan kabinet Suriah mencabut UU darurat, menghapus pengadilan keamanan negara, dan pengaturan unjuk rasa sudah tidak ada artinya lagi.
Aktivis HAM, Ammar Qirbi, mengatakan, kabinet tidak perlu memutuskan apa pun karena Presiden Assad bisa langsung memutuskan mencabut UU darurat. Hisyam al-Maleh, aktivis lain, menyatakan, pengumuman kabinet itu hanya kata-kata. Unjuk rasa tak akan berhenti hingga tuntutan rakyat sesungguhnya terpenuhi, yaitu tumbangnya rezim Assad.
Pemuda aktivis Suriah yang menggerakkan aksi unjuk rasa di berbagai kota melalui jejaring sosial di internet menegaskan, revolusi Suriah yang berlangsung damai hanya menuntut hak rakyat meraih kebebasan, kehormatan, negara sipil demokratis yang menegakkan keadilan, hukum, dan kesetaraan warga.
Rakyat Suriah juga menolak upaya penyebaran sentimen sektarian dan menolak revolusi ini dikaitkan dengan agenda asing.
Dewan Amerika Serikat-Suriah yang menghimpun warga Suriah di AS menyerukan pula, Pemerintah Suriah agar menghindari pertumpahan darah dan segera mencabut UU darurat. Mereka mengutuk tindakan aparat keamanan Suriah yang menggunakan kekuatan berlebihan terhadap pengunjuk rasa.
Direktur Kajian Arab dan Timur Modern pada Universitas Sorbone, Perancis, Burhan Ghalioun mengatakan, rezim Assad kehilangan ruang manuver karena elite Suriah tidak satu kata. Menurut Ghalioun, Presiden Assad ingin menerapkan kebijakan tertentu, tetapi pada saat bersamaan aparat keamanan terus menembaki pengunjuk rasa sehingga menjadi kontraproduktif.
”Tuntutan pengunjuk rasa berbeda. Mereka tak lagi menuntut reformasi politik, tetapi tumbangnya rezim Assad,” kata Ghalioun kepada harian Asharq Al Awsat.