Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Pertiga Rakyat Jepang Ingin PM Naoto Kan Mundur

Kompas.com - 19/04/2011, 05:34 WIB

Tokyo, senin - Tekanan dan desakan mundur terhadap Perdana Menteri Jepang Naoto Kan semakin besar, Senin (18/4). Sejumlah jajak pendapat yang digelar beberapa koran utama di Jepang menunjukkan, lebih dari dua pertiga rakyat Jepang tidak puas dengan kinerja perdana menteri dan ingin dia segera diganti.

Tiga koran besar di Jepang, yakni Nikkei, Mainichi Shimbun, dan Asahi Shimbun, menggelar jajak pendapat yang diumumkan hari Senin. Hampir 70 persen responden yang disurvei harian bisnis Nikkei menginginkan Kan segera diganti karena menganggap respons pemerintah terhadap bencana tidak memuaskan.

Masyarakat juga mengaku tidak puas dengan rencana program pengendalian krisis yang diumumkan Tokyo Electric Power Co (Tepco), perusahaan operator PLTN Fukushima Daiichi, sehari sebelumnya. Harian Mainichi Shimbun menganggap tidak ada yang konkret pada rencana tersebut. Sementara itu, Nikkei menyebut kerangka waktu pengendalian krisis nuklir tersebut tidak terlalu mempertimbangkan kepentingan penduduk di sekitar PLTN.

Di luar hasil jajak pendapat tersebut, Kan juga kembali menerima hujatan di parlemen. ”Anda harus menundukkan kepala untuk minta maaf. Anda jelas-jelas tak memiliki kepemimpinan sama sekali,” teriak Masashi Waki, anggota parlemen dari partai oposisi Partai Liberal Demokrat (LDP), kepada Kan dalam sesi sidang parlemen, Senin.

Seorang anggota parlemen lain menuding Kan tidak siap menangani bencana ini sejak awal. Ia mengutip pengakuan Kan sendiri bahwa ia tidak bisa mengingat secara detail latihan tanggap darurat bencana yang menyimulasikan kecelakaan nuklir seperti di PLTN Fukushima Daiichi, tahun lalu.

Kan hanya bisa membela diri dengan mengatakan, krisis dalam skala sebesar ini belum pernah terjadi di Jepang sebelumnya.

”Jepang sudah banyak mengalami krisis sebelum ini, tetapi saya yakin ini adalah krisis terbesar selama 65 tahun sejak Perang Dunia II berakhir. Mulai sekarang, kita tetap harus menjalankan strategi kita dalam dua hal,” tutur Kan, mengacu pada usaha pembangunan kembali wilayah yang terkena tsunami dan penyelesaian krisis nuklir di Fukushima.

Mencari dana

Selain menghadapi kritik keras, Pemerintah Jepang juga menghadapi masalah bagaimana mendapatkan biaya untuk pembangunan kembali pada saat utang negara sudah dua kali lipat dari nilai produk domestik bruto senilai 5 triliun dollar AS. Pemerintah masih berusaha menghindari pilihan menerbitkan obligasi baru senilai 4 triliun yen (48 miliar dollar AS) sebagai dana darurat awal meski kelihatannya Jepang tak punya pilihan lain lagi dalam kondisi seperti ini.

Pihak oposisi di parlemen menentang usul Partai Demokrat Jepang (DPJ), yang berkuasa saat ini, untuk menaikkan pajak guna membiayai rekonstruksi Jepang itu. Namun, mayoritas responden jajak pendapat mendukung ide menaikkan pajak.

”Saya ingin meminta rakyat untuk memikul bersama beban ini seluas-luasnya. Sementara kami meninjau kembali semua pembelanjaan dan pendapatan (negara) untuk mengumpulkan dana (rekonstruksi), semua orang perlu berbagi derita,” ungkap Deputi Menteri Keuangan Jepang Fumihiko Igarashi.

Para pengamat politik menambahkan, pergantian pucuk pimpinan pemerintahan Jepang diduga tak akan terjadi dalam waktu dekat meski Kan mendapat hujan kritik dan desakan mundur.

”Pada saat kita harus bekerja untuk membangun kembali setelah gempa, tidak mungkin menjalankan pemungutan suara untuk mengubah kepemimpinan DPJ atau menggelar pemilihan umum,” tutur Hajime Ishii, anggota majelis tinggi dari DPJ.

Masih tinggi

Dari PLTN Fukushima Daiichi dilaporkan, dua robot Packbots buatan AS berhasil memasuki bagian dalam bangunan reaktor Unit 1 dan 3, Minggu. Dari hasil pengukuran robot-robot ini, tingkat radiasi masih mencapai 49 milisievert per jam di dalam reaktor Unit 1 dan 57 milisievert per jam di dalam Unit 3, atau masih terlalu berbahaya bagi manusia.

Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Hidup AS (EPA), batas aman paparan radiasi bagi pekerja nuklir di AS adalah 50 milisievert per tahun.

(Reuters/AP/AFP/DHF)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com