Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemimpin Sejati dan Pencarian Harmoni

Kompas.com - 17/04/2011, 04:00 WIB

 DAHONO FITRIANTO

Dalai Lama XIV Tibet Tenzin Gyatso mengenal demokrasi pertama kali di India pada 1956. Pertemuan itu begitu berkesan sehingga ia memutuskan demokrasi harus menjadi penentu masa depan Tibet.

Demokrasi menjadi salah satu tema yang dibicarakan pemimpin spiritual Tibet dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 1989 ini dalam wawancara khusus dengan Kompas di kediamannya di pengasingan, Dharamshala, India, Jumat (8/4).

Di India waktu itu, Dalai Lama yang masih berusia 21 tahun sangat terkesan dengan praktik demokrasi dalam sidang parlemen India. ”Tak ada disiplin. Semua berteriak dan saling mengkritik satu sama lain. Berbeda sekali dengan sidang Kongres Rakyat China (parlemen China dalam sistem komunis) yang serba disiplin,” kenang dia.

Empat tahun kemudian, saat ia kembali ke India dengan status sebagai pengungsi, Dalai Lama memutuskan untuk memulai proses panjang demokratisasi rakyat Tibet.

Proses yang baru tuntas tahun ini setelah Dalai Lama memutuskan mundur sebagai pemimpin politik bangsa Tibet dan menyerahkan seluruh kekuasaan politik, yang telah dipegang institusi Dalai Lama selama 369 tahun, kepada sistem demokratis. ”Keputusan saya sudah final,” tandasnya (Kompas, 10/4).

Sebagai sosok pemimpin, yang terikat dengan berbagai aturan keagamaan yang ketat dan tradisi berumur ratusan tahun, Dalai Lama menaruh kepercayaan sangat besar terhadap demokrasi. 

Apa yang membuat Anda sangat percaya pada demokrasi dan yakin demokrasi akan membawa kehidupan lebih baik bagi rakyat Tibet?

”Saya percaya dunia ini milik umat manusia. Bukan milik para penguasa atau pemuka agama, tetapi milik kemanusiaan secara keseluruhan. Maka, seperti Indonesia, negara Indonesia adalah milik semua orang Indonesia, bukan presidennya saja. Juga di India, negara India adalah milik rakyat India. China pun milik 1,3 miliar rakyat China.

Cara terbaik pemerintahan oleh rakyat adalah melalui pemilihan umum (pemilu). Pemilu yang sesungguhnya, bukan pemilu pura-pura. Orang yang terpilih (melalui pemilu) itu akan bertanggung jawab terhadap seluruh rakyat. 

Dan demokrasi, menurut saya, adalah salah satu wujud hak asasi manusia. Mereka (rakyat) perlu memiliki rasa tanggung jawab, dan punya hak untuk bertanya kepada pemimpin mereka.

Dalam pengalaman saya, yang merangkap sebagai pemimpin spiritual, kadang-kadang orang, meski punya perbedaan pendapat, tidak leluasa mengungkapkan pendapat mereka karena rasa hormat dan rasa bakti mereka terhadap saya. Jadi, akan lebih baik orang yang terpilih dalam pemilu yang memimpin mereka.”

Meski kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, suatu negeri tetap butuh pemimpin yang sejati. Seperti apa (syarat) pemimpin ideal yang dibutuhkan dunia saat ini?

”Menurut saya... (terdiam beberapa saat)... jujur. Jujur dan tulus akan membawa kepercayaan rakyat. Dan dengan kejujuran dan ketulusan, kita akan punya transparansi. 

Dan (seorang pemimpin) juga perlu punya motivasi tulus untuk benar-benar peduli terhadap kebaikan orang lain. Tidak egois dan mementingkan kepentingannya sendiri. (Dia harus) punya dedikasi total untuk kesejahteraan rakyat. 

Kemudian, (pemimpin sejati) harus punya visi. Waktu selalu bergerak, jadi kita harus berpikir untuk jangka panjang dan punya visi masa depan. Tidak cukup hanya berpuas diri dengan apa yang sudah didapatkan kemarin dan mengulangi hal yang sama. (Dia) harus berpikir untuk masa depan.

Jadi seorang pemimpin, dalam pikirannya, harus mendahului waktu.”

Di luar keberhasilannya membawa proses demokratisasi di kalangan rakyat Tibet, Dalai Lama mengakui sebagian besar perjuangannya mencari solusi terbaik untuk mengurangi penderitaan rakyat Tibet, yang masih berada di Tibet, gagal.

Bahkan, solusi Kebijakan Jalan Tengah yang ia tawarkan, yakni Tibet hanya meminta status otonomi khusus dan tak akan mengejar kemerdekaan dari China, sampai saat ini masih dianggap sepi oleh Pemerintah China.

Akan tetapi, di tengah kondisi tersebut, visi dan kebesaran jiwa Dalai Lama melihat datangnya masalah lain yang lebih genting. Salah satu bocoran kawat diplomatik AS di Wikileaks mengungkapkan, Dalai Lama meminta AS menunda pembicaraan dengan Beijing tentang masa depan politik Tibet dan, alih-alih mendesak AS mengutamakan isu perubahan iklim.

Dalam kawat diplomatik yang dikirim dari Kedubes AS di New Delhi, India, tahun 2009, Dalai Lama mengatakan, perundingan politik untuk memberikan otonomi lebih besar kepada Tibet bisa ditunda 5-10 tahun lagi. Namun, mencegah mencairnya gletser di Pegunungan Himalaya tak bisa ditunda-tunda lagi (Kompas, 18/12/2010).

Dua tahun silam, Anda meminta para diplomat AS untuk mengurangi tekanan terhadap China terkait dengan isu-isu politik Tibet, dan alih-alih Anda meminta mereka memberi tekanan lebih dalam isu-isu perubahan iklim. Mengapa?

”Kebanyakan orang menyebut Tibet sebagai ’atap dunia’. Tetapi, menurut sebagian ilmuwan China, Tibet juga disebut sebagai Kutub Ketiga. Karena efek pemanasan global di Dataran Tinggi Tibet, akan memberi efek yang setara dengan yang terjadi di Kutub Utara maupun Kutub Selatan. 

Dan juga karena (lokasi Tibet) di dataran tinggi dengan iklim kering, efek pemanasan global ini akan menjadi lebih menyulitkan. Di negara-negara beriklim panas (tropis), seperti Indonesia, bahkan setelah terjadi penggundulan hutan pun tanaman akan cepat tumbuh kembali.

Tetapi di iklim yang kering dan dingin seperti di Tibet, butuh waktu lebih lama untuk memulihkan secara alami lingkungan yang sudah rusak. 

Selain itu, sungai-sungai utama di Asia, seperti Mekong dan sungai-sungai lain yang mengalir melewati seluruh wilayah Asia Timur, Asia Tenggara, dan India, semua bermata air di Tibet (termasuk Sungai Brahmaputra, Indus, dan Yangtze). Jadi itu sebabnya, mereka perlu menaruh perhatian lebih pada perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di Tibet. 

Pada masalah-masalah lain, hanya butuh satu keputusan atau solusi politik, dan semua akan beres. Tetapi dalam ekologi, satu gangguan akan berdampak pada yang lain selama berpuluh-puluh tahun. Maka, itu semua sangat penting.”

Dunia saat ini sedang berubah dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perilaku alam, sampai tata politik dunia, sedang berubah. Apa yang sedang terjadi, dan apa yang harus dilakukan umat manusia?

”Dunia memang sedang berubah, dan yang lebih serius perubahan itu berada di luar jangkauan kendali manusia, yakni pemanasan global. Sekarang terjadi berbagai anomali cuaca, seperti makin banyak angin topan.

Sementara, populasi dunia terus bertambah. Di luar itu, standar hidup kita pun harus terus meningkat, terutama di kalangan masyarakat yang lebih miskin.

Tetapi secara umum, masyarakat masih hidup dalam kondisi susah. Dan yang paling buruk adalah jurang antara yang kaya dan yang miskin. Jurang ini sangat menyedihkan.

Bagi yang kaya, gaya hidup mereka menjadi makin mahal. Jadi (pada dasarnya) masalah (di dunia ini) akan bertambah. Kita harus sadar untuk mengatasi ini semua. 

Menurut saya, kita harus mulai berlatih menahan diri. Jangan terlalu menuruti gaya hidup. Tentu saja, setiap orang berhak mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasar dalam hidup. Tetapi tidak perlu yang terlalu mahal.

Di negara-negara kaya, seperti Amerika, satu keluarga sampai punya dua mobil atau lebih. Menurut saya, kita harus menahan diri, meski punya uang gunakan itu untuk memenuhi kebutuhan daripada untuk mengejar kepuasan pribadi akan kemewahan.”

Saat ini makin banyak tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Apa yang terjadi?

”Betul. Berdasarkan sejarah konflik antaragama, isu utamanya sebenarnya bukan soal agama, tetapi kekuasaan, dan kadang-kadang juga uang. Memang ada juga konflik terjadi karena perbedaan sudut pandang dan kepercayaan. Itu semua disebabkan adanya pemikiran bahwa hanya ada satu kebenaran tunggal milik satu agama saja.

Suka atau tidak suka, sudah ada banyak agama sejak zaman dulu, sejak ribuan tahun. Itulah realitanya, kita harus menerima itu. Jika kita lihat lebih dekat, semua agama utama, meski terinspirasi filosofi yang berbeda-beda, semua membawa pesan yang sama, yakni pesan tentang cinta, rasa welas asih, rasa memaafkan, toleransi, disiplin diri, menahan diri, dan melayani orang lain, membahagiakan orang lain. 

Semua agama mengajarkan hal yang sama itu. Islam sangat menekankan pada hal itu, dan juga Kristen, Hindu, Buddha, dan seterusnya. Dan (persamaan) itu lebih penting daripada perbedaan-perbedaan.

Tujuan adanya berbagai filosofi yang berbeda adalah untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dasar ini. Jadi ada alasan untuk menghormati tradisi-tradisi lain.

Kita harus bekerja bersama. Praktik-praktik individual, yang beranggapan hanya ada satu kebenaran dan satu agama, sangat tidak relevan. Dalam masyarakat sekarang ini, yang relevan adalah menerima ada banyak agama dan ada banyak (wajah) kebenaran. Seperti Indonesia, pada dasarnya adalah negara Muslim, tetapi tetap hidup agama Kristen, Buddha, dan Hindu. 

Sebenarnya sekarang ini seluruh dunia sudah menjadi seperti satu komunitas besar umat manusia, yang menerima multikulturalitas, multiagama, dan multiras. Jadi kita harus hidup bersama. Lebih baik hidup dalam keharmonisan dan saling menghormati satu sama lain.”

Saat berbicara soal Indonesia, Dalai Lama menjadi bersemangat. Ada hubungan tersendiri antara ajaran Buddha di Tibet dan ajaran Buddha yang berkembang di Indonesia masa lalu.

Menurut catatan Kompas, Dalai Lama sudah dua kali berkunjung ke Indonesia pada era Orde Baru, yakni pada tahun 1982 dan 1992.

Menurut Tenzin Phuntsok Atisha, Sekretaris Hubungan Internasional Departemen Informasi dan Hubungan Internasional Central Tibetan Administration, Dalai Lama sudah lama ingin mengunjungi Indonesia lagi. Namun, pemerintahan RI sejak era reformasi tidak pernah memberikan visa bagi Dalai Lama. 

Apakah Anda masih ingin mengunjungi Indonesia? 

Saya sudah pernah ke Indonesia beberapa kali. Tetapi itu sudah lama sekali, bertahun-tahun silam, masih di zaman Soeharto. Saya mengenal Soeharto sebagai teman, dan saya sempat bertemu dia dan Wakil Presiden (Adam) Malik. Saya mengunjungi Yogyakarta dan juga Borobudur, dan pada kesempatan lain mengunjungi Bali dalam kunjungan singkat. 

Ada hubungan antara Indonesia dan Tibet di masa lalu. Sekitar 1.000 tahun lalu, pada abad ke-10, seorang guru besar dari India mengunjungi Swarnadwipa, Pulau Emas (sekarang Sumatera), dan menimba ilmu (agama Buddha). Orang suci dari India itu kemudian diundang ke Tibet untuk mengajarkan ilmunya di sana. Jadi melalui cara itu, kita juga punya hubungan khusus. Ada hubungan antara Buddhisme di Indonesia dan Buddhisme Tibet.

Lalu tentu saja Borobudur, stupa raksasa itu sungguh menakjubkan. Di kawasan Borobudur dan juga Bali, saya melihat ada kegiatan berbagai agama, Hindu, Buddha, Muslim, hidup berdampingan. Sangat luar biasa.

Jadi, kalau ada kesempatan saya selalu ingin mengunjungi Indonesia. Saya juga akan bisa memberi pelayanan kecil terkait memajukan keharmonisan kehidupan beragama, antara Muslim, Kristen, Hindu, dan Buddha.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com