Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Intervensi Militer Tak Selesaikan Masalah

Kompas.com - 16/04/2011, 03:36 WIB

Maruli Tobing

Intervensi militer AS dan koalisi internasional pimpinan Pakta Pertahanan Atlantik Utara tidak akan menyelesaikan konflik di Libya. Sebaliknya, ia menjadi masalah karena tujuannya membantu pemberontak mengganti rezim dengan kekerasan. Kini perang makin marak dan Libya akan menjadi sumber instabilitas kawasan. Satu-satunya yang diuntungkan hanya Iran dan program nuklirnya.

Demikian pengusaha nasional, Setiawan Djody dan Dr H Oesman Sapta Odang, menjawab pertanyaan Kompas di Jakarta, Selasa (12/4). Kedua pengusaha tersebut mempunyai banyak relasi bisnis di Timur Tengah. ”Semua karyawan WNI sudah kita pulangkan dari Libya,’’ kata Setiawan Djody, yang mengenal sejumlah pejabat di lingkaran Kolonel Moammar Khadafy. Pengusaha yang merangkap seniman ini sejak lama membuka usaha di sektor migas di negara tersebut.

Menurut kedua pengusaha itu, Kolonel Khadafy bukan ancaman terhadap kepentingan maupun keamanan nasional AS dan Barat pada umumnya. Di era pemerintahan Presiden AS George W Bush, Khadafy disebut sebagai stabilisator kawasan dan sekutu dalam perang melawan teror. Dalam konteks kepentingan geopolitik AS, walaupun diwarnai ketegangan dengan Arab Saudi dan negara-negara Teluk, rezim Khadafy adalah salah satu benteng pembendung pengaruh Iran di Afrika Utara dan Timur Tengah.

Menurut Setiawan Djody, hubungan Libya dengan AS, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya cukup baik. Salah seorang anak Khadafy malah tinggal di London, dan seorang lagi sedang belajar di AS. Namun, mendadak AS memimpin koalisi internasional membombardir Libya melalui serangan udara dan rudal Tomahawk. Presiden AS Barack Obama, PM Inggris David Cameron, dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy memang mengusung isu kemanusiaan dan demokrasi. Namun, rakyat Libya dan negara-negara Arab sekarang tidak begitu saja percaya.

Mereka telah melihat koalisi internasional di Irak dan Afganistan justru membawa bencana. Banyak penduduk sipil tewas. Peristiwa ini menjelaskan, demokrasi tidak lahir dari hujan bom dan rudal Tomahawk. Setiawan Djody berpendapat, Kolonel Khadafy sendiri sebenarnya berjanji akan melakukan reformasi atau pergantian rezim melalui proses transisional.

Sebaliknya, Perancis berkepentingan agar hal itu dilakukan segera, yakni membantu pemberontak melalui serangan udara untuk melumpuhkan kekuatan militer Khadafy. Ini akan memudahkan pemberontak menguasai Tripoli, ibu kota Libya.

Presiden Sarkozy berhasil menggandeng Presiden AS Barack Obama karena kebijakan luar negeri AS saat ini condong ke Eropa. ”Seandainya Obama lebih dekat dengan Asia Timur, hal itu tidak akan terjadi. Padahal, dari sisi kepentingan geopolitik dan ekonomi, jauh lebih menguntungkan bagi AS jika condong ke Asia Timur,’’ kata Setiawan Djody.

Gencatan senjata

Pengusaha Dr Oesman Sapta berpendapat, minggu keempat serangan udara AS dan koalisi internasional pimpinan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berhasil menghancurkan sekitar 30 persen kekuatan Angkatan Darat Libya dan angkatan udaranya lumpuh total.

Namun, hingga saat ini belum ada tanda-tanda Khadafy akan menyerah. Pemberontak juga tidak mampu memperluas daerah kekuasaannya. Ini menunjukkan, asumsi intervensi militer tersebut keliru sama sekali.

Sebalkiknya, kata mantan Wakil Ketua MPR ini, Khadafy justru memanfaatkan intervensi militer asing itu untuk menarik dukungan rakyat dengan mengobarkan nasionalisme Libya dan solidaritas Arab.

Menurut Oesman, perang akan berlangsung lama dan merugikan semua pihak. Satu-satunya jalan menghentikannya adalah seperti dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni PBB menetapkan gencatan senjata dan mengirim pasukan perdamaian.

Dalam pertemuan bilateral di Jakarta, Selasa (5/4), Presiden Turki Abdullah Gull sepakat dengan Presiden SBY untuk mendorong gencatan senjata. Dalam pernyataan bersama yang dirilis Kementerian Luar Negeri Indonesia ditekankan, ”Semua bentuk kekerasan dan permusuhan terhadap penduduk sipil agar segera dihentikan.’’ Di samping itu, kedua kepala negara menegaskan pentingnya menjaga kedaulatan, kesatuan nasional, dan integritas teritorial Libya. Pemerintah Turki saat ini berusaha agar gencatan senjata dapat terwujud.

Menurut Oesman, perundingan yang sedang diupayakan negara-negara Uni Afrika masih memerlukan waktu. Minimal hingga kedua kubu yang berperang dapat menerima syarat-syarat yang diajukan lawannya. Hal itu berbeda dengan gencatan senjata yang dapat dipaksakan PBB dengan mengirim pasukan perdamaian. Setelah ini berjalan, baru dilakukan perundingan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com