Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jepang-ASEAN Pascabencana?

Kompas.com - 15/04/2011, 04:05 WIB

Pamungkas Ayudhaning Dewanto

Kerisauan Asia Tenggara terhadap bencana bertubi-tubi di Jepang tak dapat ditutupi.

Hal itu, antara lain, diwujudkan dalam Pertemuan Khusus Tingkat Menteri ASEAN-Jepang pada 9 April lalu. Kekhawatiran akan dampak gempa, tsunami, dan radiasi nuklir terhadap kejatuhan ekonomi regional harus ditelaah.

Peletak model

Jepang hingga kini boleh dibilang sebagai negara peletak model pembangunan Asia Timur yang diterapkan di Korea Selatan, Taiwan, dan negara-negara Asia Tenggara. Oleh Kaname Akamatsu, negara-negara di Asia Timur diibaratkan sebagai rombongan angsa terbang dan Jepang di baris terdepan.

Bagi Asia Tenggara, Jepang adalah tujuan ekspor terbesar ketiga setelah China dan Uni Eropa. Namun, secara riil diperkirakan nilai ketergantung- an di antara keduanya adalah yang terbesar. Dalam sejarahnya, Jepang menggalakkan ekspansi investasi langsung ke Asia Timur dan Asia Tenggara sejak ia terpaksa merevaluasi nilai tukar yen terhadap dollar AS pada 1985 dan 1987.

Sebagai dampak ekspansi investasi langsung ini, berdasarkan data ekspor-impor hingga 2008, nilai ekspor Jepang ke Asia Timur dan Tenggara bernilai signifikan—46,8 persen—menggeser ekspor ke AS dan Uni Eropa. Di sisi lain impor Jepang dari Asia Timur dan Tenggara hanya 8 persen. Terjadi perubahan pola ekspor Jepang, kali ini melalui negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Keduanya menjadi aset berharga bagi Jepang.

Pada alokasi kredit untuk industri manufaktur dalam negeri, terjadi penurunan yang konsisten dari 28,3 persen (1983) menjadi 13,2 persen (2003) dari persentase seluruh kredit perbankan. Wajarlah bila industri manufaktur berkontribusi kecil bagi perekonomian nasional.

Perekonomian internal Jepang justru banyak bergerak di sektor jasa. Penyebabnya ialah industri manufaktur Jepang telah banyak dibuka di Asia Tenggara.

Ketika Indeks Nikkei 225 dan Topix baru saja terkoreksi sebagai dampak dari krisis keuangan global, bencana alam yang menimpa Jepang kembali melemahkan indeks keduanya. Meski demikian, Indeks Nikkei mulai merangkak pada angka 9.768 dan Indeks Topix berada pada level 853 (10 April).

Peningkatan diperkirakan te- rus terjadi, meski lambat, mengingat area yang terkena bencana hanya berkontribusi sebesar 6,2 persen dari produk domestik bruto Jepang. Adapun risiko terbesar dari dampak bencana ini adalah peningkatan rasio beban utang dan revaluasi nilai tukar yang berpengaruh pada ekspor sebagai dampak besarnya anggaran untuk pemulihan.

Lambatnya pertumbuhan ini disebabkan kebocoran PLTN yang menopang 30 persen pasokan energi di Jepang. Kecelakaan itu menambah kekhawatiran para investor terhadap keamanan energi dan juga risiko radiasi. Kini Jepang meminta Indonesia dan Thailand meningkatkan suplai gas alam. Tentu di sektor energi dan barang manufaktur akan terjadi pertumbuhan sebagai dampak peningkatan anggaran negara untuk rekonstruksi pascabencana.

Perlu dicatat bahwa sejak reformasi keuangan ”Dentuman Besar” dilaksanakan per Desember 1997, pelaku ekonomi Jepang banyak berekspansi: masuk ke dalam investasi portofolio dan investasi lain ke banyak negara.

Itu sebabnya, dampak bencana kali ini tidak seburuk krisis finansial global bagi transaksi keuangan Jepang: kerugian di pasar keuangan berakibat masif di seluruh sektor penopang pertumbuhan. Inilah yang menjelaskan mengapa perekonomian Jepang yang melemah kali ini belum terasa di Asia Tenggara.

Langkah antisipatif

Asia Tenggara sebagai penopang yang masih dapat diandalkan untuk menjaga pertumbuhan nasional Jepang memerlukan mekanisme penguatan, antara lain dengan diberlakukannya pertukaran cadangan devisa negara-negara Asia Timur dan ASEAN melalui Inisiatif Chiang Mai. Jika lebih berkonsentrasi membangun perekonomiannya di Asia Tenggara, Jepang dapat membuat hal ini menjadi bagian dari rangkaian besar langkah aksi mitigasi bencana.

Persepsi investor terhadap kerentanan Jepang atas gempa dan tsunami perlu direspons dengan relokasi industri strategis ke wilayah-wilayah dengan kerentanan minimum terhadap bencana, seperti Asia Tenggara dan China, yang sedari awal memiliki interdependensi.

Kebijakan ini, bagaimanapun, meniupkan angin segar bagi perekonomian kedua negara karena menjamin stabilitas nilai tukar yang berdampak pada peningkatan stabilitas harga barang. Jepang yang selama ini terus mendorong investasi langsungnya ke negara-negara Asia Tenggara harus lebih mengintegrasikan komponen produksi dengan negara setempat. Produksi kendaraan Daihatsu, misalnya, kini telah 80 persen menggunakan komponen lokal Indonesia.

Dalam momentum bencana ini Jepang harus mulai mengalihkan teknologi sebagai bagian tak terpisahkan dalam prinsip investasi langsung guna mendorong pertumbuhan di antara keduanya. Tsunami Jepang 2011 bisa menjadi babak baru pembangunan kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur bila keadaan saling menguntungkan segera disadari.

Pamungkas Ayudhaning Dewanto Peneliti di Center for East Asian Cooperation Studies FISIP Universitas Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com